“Pers dan demokrasi ibarat dua sisi mata uang. Tidak ada negara demokrasi, bila tidak ada kemerdekaan pers. Sebaliknya, tidak ada kemerdekaan pers di negara yang tidak demokratis,” kata Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers dua periode dalam bukunya “Politik Publik Pers.”
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) itu mengingatkan, pada dasarnya kemerdekaan pers berakar dari publik. Kemerdekaan pers milik publik, karena itu harus sebesar-besarnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Merujuk kepada peran pers dalam Pasal 6 UU Pers, dalam sistem demokrasi, pers tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas kekuasaan.
Di sinilah tantangannya, dalam kondisi media yang tidak sedang baik-baik saja, pers bisa rapuh dan goyah. Kepentingan politik dan ekonomi bisa mengancam independensi dan integritas pers.
“Pers yang tidak independen akan kehilangan kredibilitasnya di mata publik dan berubah menjadi alat propaganda bagi kepentingan tertentu.” Demikian disebutkan McQuail dalam bukunya “Mass Communication Theory.”
Kepada perusahaan dan pengelola media, organisasi pers, termasuk para wartawan; peningkatan kompetensi dan profesionalitas adalah harga mati untuk menghadapi tantangan berat media hari ini. Kompetensi yang baik didukung akhlak dan moral yang baik sesuai kode etik jurnalistik adalah sebuah keniscayaan untuk membangun kepercayaan, bahwa pers memang bekerja untuk kepentingan publik.
Kepada pengurus PWI Pusat, baik yang dipimpin Zulmansyah Sakedang maupun yang dikomandoi Hendri Ch Bangun. Buat para seniorsenior PWI. Sudahlah! Sudahilah silang sengketa internal itu. Dari lubuk nurani terdalam, saya dan teman-teman anggota PWI bermohon; tundukanlah ego itu. Mengalah untuk marwah organisasi kita yang sudah lelah.
Kita perlu energi bersama untuk mengatasi tantangan pers yang membentang. Menjaga pers independen dan berintegritas. Itulah tugas kita. Selamat Hari Pers Nasional. Tabik!
Oleh: Zul Effendi (Wartawan Utama, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Sumbar dan Ahli Pers Dewan Pers)