Keamanan pangan merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan berkelanjutan. Selain pertumbuhan permintaan pangan meningkat akibat pertambahan penduduk, peningkatan suhu 3 derjat celsius menjelang akhir dekade ini sebagai ancaman penting.
Dampak peningkatan suhu bumi terhadap ketersediaan air, sekalian mempengaruhi luas cadangan lahan sebagai sumber air, berdampak berikutnya menyusutnya jumlah lahan yang dapat digunakan untuk kepentingan sumber pangan karbonhidrat, protein maupun vitamin dan mineral.
Selain penurunan jumlah ketersediaan pangan, akses terhadap pangan juga dipertanyakan akibat harga, kualitas dan jangkauan. Sehingga problem akses muncul kendatipun ketersediaan pangan cukup, saat bersamaan masih besar jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi pangan.
Oleh Amarta Sen yang diperlukan tidak saja produksi, namun mampu memenuhi kombinasi keperluan masyarakat sampai ke dalam mulut “food entitlement”.
Persoalan produksi
Pengurangan nilai dalam proses panen selain dari hama, pangan yang diproduksi dengan pemanfaatan peptisida menjadi persoalan tersendiri. Selain dari itu masalah budaya efisiensi dalam proses pengolahan dan penggunaan pangan.
Masalah budaya di mana makan yang sering tersisa merupakan agenda lain. Begitu makanan bersisa baik di restoran maupun pada makan pesta, dan makan bersama. Sebagian proses makan bersama yang menyisakan makanan berlebih. Contoh dalam makanan bajamba di Minangkabau.
Menurut perhitungan, sisa makanan “left food” di dunia bisa memberi makan 125 juta penduduk yang kekurangan pangan. Presiden Brazil Lula memperkenalkan Food Bank, untuk kaum papa. Sisa makanan restoran kemudian di mana untuk keluarga miskin perkotaan.
Masalah pangan bersisa ada dua hal. Membiasakan untuk memanaskan kembali “reheating left food” bisa membuat makanan aman untuk dikonsumsi. Jika makanan bersisa, maka sisa makanan bisa dimanfaatkan oleh ternak, walau masih tidak tepat.
Keamanan pangan untuk konteks negeri kita tentu selain produksi dan pengolahannya diperhatikan, akan tetapi diperlukan pula pemikiran baru. Bayangkan bagaimana impor pangan selama ini yang bisa menguras devisa negara. Bisa saja terigu, jagung, bisa jadi beras, garam, bawang putih, kedele dan lainnya.
Isu impor pangan mesti disikapi dengan alih substitusi agar teknologi dan inovasi mampu membuat impor dikendalikan. Pangan berkelanjutan juga dapat diatasi melalui fortifikasi pangan.
Daerah daerah yang sumber bahan pangan lokal misal talas, sagu dan pisang misalnya perlu upaya menyeimbangkan kandungan melalui fortifikasi protein. Teknologi dan pengetahuan yang membuat produksi bisa semakin memenuhi keperluan masyarakat ke depan.
Kampanye dan pengaturan akan ancaman masa depan pangan mesti disiapkan. Di Jerman saja, makanan yg diorder di restoran jika bersisa, pemesan di restoran akan kena denda jika mereka diajukan ke pengadilan.
Selain dari itu pengetahuan dan pendidikan petani terhadap pupuk dan hama sangat diperlukan. Pupuk dan bibit yang terkontaminasi racun akan membuat biaya hama dan pupuk semakin besar.
Apalagi konsumsi makanan yang masuk kategori bebas pupuk kimia menjadi persoalan tersendiri. Kompleks memang masalah pangan berkelanjutan. Namun di sini kita bisa akan semakin mantap dalam menetap perubahan iklim ke depan.