Pemberian hak kelola bagi masyarakat melalui kebijakan perhutanan sosial, diakui memang masuk akal untuk diterapkan mengingat mayoritas desa atau nagari yang ada di Sumbar terletak di dalam maupun di sekitaran kawasan hutan.
Namun demikian, masifnya pemberian izin hak kelola masyarakat lewat skema perhutanan sosial justru dinilai menghilangkan dan mengabaikan aspek pengakuan dan penghormatan negara terhadap tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat Minangkabau.
Sebab kenyataannya, luas hutan adat Sumbar yang tercatat dan diakui negara ternyata hanya 0,3 persen dari total luas keseluruhan hutan Sumbar. “Itu pun hanya ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pertanyaannya, apakah di 18 kabupaten/kota lainnya tidak ada masyarakat hukum adat? Justru yang ada hanyalah skema perhutanan sosial yang notabene statusnya adalah hutan negara yang sewaktu-waktu bisa kembali diambil alih negara jika izinnya tidak diperpanjang,” kata Wengki.
Perbedaan antara hutan negara dan hutan adat ini bahkan telah diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat. Bukan lagi sebagai hutan negara. Putusan ini mengakomodasi hak masyarakat adat dalam UU Kehutanan dengan kerangka hukum progresif.
Oleh karena itu, Walhi Sumbar meminta Pemprov Sumbar untuk segera mengoreksi kebijakan perhutanan sosial serta memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Termasuk bagi tanah-tanah ulayat yang di atasnya telah terlanjur terbit izin HGU perkebunan sawit.
“Semestinya, lima tahun ke depan tidak ada lagi izin perhutanan sosial di Sumbar kecuali hutan adat. Jika cara-cara ini terus dilanjutkan, artinya Pemprov Sumbar secara aktif melakukan praktik-praktik etnosida atau pembasmian identitas masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan,” katanya.