“Gerak Cepat untuk Sumbar” Jangan Jadi “Gerak Cepat Hancurkan Sumbar”

Walhi

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mengingatkan pasangan Mahyeldi-Vasko selaku pemegang mandat rakyat untuk setia berpihak kepada rakyat dan tidak boleh berselingkuh dan berkompromi dengan keserakahan pengusaha maupun oligarki.

“Kita tidak ingin tagline ‘Gerak Cepat untuk Sumbar’ yang digaungkan Mahyeldi-Vasko malah berubah menjadi ‘Gerak Cepat untuk Kehancuran Sumbar’,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto kepada Haluan, Rabu (19/2).

Menurut Walhi Sumbar, ada sejumlah kebijakan bermasalah Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan pasangan Mahyeldi-Audy pada periode sebelumnya yang harus dievaluasi dan mendesak untuk dituntaskan pasangan Mahyeldi-Vasko selama lima tahun ke depan.

Di antaranya adalah kebijakan pada sektor kehutanan, energi, dan infrastruktur; komitmen pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pencemaran sampah laut; hingga bencana ekologis yang dilatarbelakangi masifnya  pembangunan dan investasi yang mengabaikan kaidah-kaidah keseimbangan lingkungan.

Pada sektor kebijakan kehutanan, Walhi Sumbar menyoroti program perhutanan sosial yang klaim keberhasilannya selalu dibanggakan Mahyeldi dan Pemprov Sumbar dalam berbagai kesempatan.

Berdasarkan catatan Walhi Sumbar, hingga bulan Agustus 2024, Pemprov Sumbar telah memberikan hak pengelolaan kawasan hutan di areal seluas 300 ribu hektare bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar kawasan hutan lewat skema perhutanan sosial.

Pemberian hak kelola bagi masyarakat melalui kebijakan perhutanan sosial, diakui memang masuk akal untuk diterapkan mengingat mayoritas desa atau nagari yang ada di Sumbar terletak di dalam maupun di sekitaran kawasan hutan.

Namun demikian, masifnya pemberian izin hak kelola masyarakat lewat skema perhutanan sosial justru dinilai menghilangkan dan mengabaikan aspek pengakuan dan penghormatan negara terhadap tanah ulayat yang dimiliki masyarakat hukum adat Minangkabau.

Sebab kenyataannya, luas hutan adat Sumbar yang tercatat dan diakui negara ternyata hanya 0,3 persen dari total luas keseluruhan hutan Sumbar. “Itu pun hanya ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Pertanyaannya, apakah di 18 kabupaten/kota lainnya tidak ada masyarakat hukum adat? Justru yang ada hanyalah skema perhutanan sosial yang notabene statusnya adalah hutan negara yang sewaktu-waktu bisa kembali diambil alih negara jika izinnya tidak diperpanjang,”  kata Wengki.

Perbedaan antara hutan negara dan hutan adat ini bahkan telah diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat adat. Bukan lagi sebagai hutan negara. Putusan ini mengakomodasi hak masyarakat adat dalam UU Kehutanan dengan kerangka hukum progresif.

Oleh karena itu, Walhi Sumbar meminta Pemprov Sumbar untuk segera mengoreksi kebijakan perhutanan sosial serta memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Termasuk bagi tanah-tanah ulayat yang di atasnya telah terlanjur terbit izin HGU perkebunan sawit.

“Semestinya, lima tahun ke depan tidak ada lagi izin perhutanan sosial di Sumbar kecuali hutan adat. Jika cara-cara ini terus dilanjutkan, artinya Pemprov Sumbar secara aktif melakukan praktik-praktik etnosida atau pembasmian identitas masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan,” katanya.

Selain melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sektor kehutanan, Walhi Sumbar juga meminta Gubernur Mahyeldi untuk mengoreksi kebijakan pada sektor infrastruktur dan energi. Ia menegaskan, pemerintah harus konsisten menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam setiap kebijakan pembangunan.

Prinsip ini seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pengabaian ini pada akhirnya bakal menuai penolakan masyarakat sekitar terdampak yang pada akhirnya hanya akan menambah deretan panjang titik-titik konflik agraria di Sumbar.

Wengki mencontohkan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol Padang-Sicincin yang terbukti diwarnai tindak pidana korupsi pengadaan tanah. Proses pembangunannya pun, telah melahirkan bencana sosial-ekologis yang luar biasa besar bagi masyarakat sekitar.

“Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat. Begitupun pada Seksi Pangkalan–Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Kota. Trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat seperti rumah gadang dan sebagainya,” katanya.

Pengabaian prinsip FPIC oleh Pemprov pada era kepemimpinan pertama Mahyeldi juga terbukti terjadi pada rencana pembangunan  Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Danau Singkarak yang hingga kini masih menuai penolakan dari masyarakat sekitar.

Mega proyek yang dilakukan atas nama energi baru terbarukan itu nyatanya sudah direkomendasikan Gubernur Mahyeldi kepada pemerintah pusat kendati proses dialog dan sosialisasi belum pernah dilakukannya secara langsung kepada masyarakat di tingkat tapak.

“Gambar rencana proyeknya sudah ada. Target kapan PLTS itu berjalan pun sudah ada. Tapi masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pembahasannya.  PLTS Singkarak memicu traumatik baru bagi masyarakat. Selain karena korban PLTA Singkarak di masa lalu, beban Danau Singkarak hari ini cukup berat. Termasuk kategori danau sangat kritis di Indonesia,” katanya.

Pola-pola pengabaian prinsip FPIC dalam agenda pembangunan dan investasi yang sama, juga dilakukan Gubernur Mahyeldi pada kasus PSN Air Bangis yang menuai gelombang protes ribuan masyarakat di ibu kota provinsi beberapa waktu lalu.

“Air Bangis ditujukan untuk industri refinery dan petrochemical serta sarana pendukung bagi PT Abaco Pasifik Indonesia pada lahan seluas ±30.000 hektare. Prinsip FPIC juga tidak berjalan di sini. Tidak kurang, 20.000 jiwa terdampak akibat proyek ini. Jika proyek dilanjutkan, maka sekitar 20.000 hektare hutan akan dikonversi menjadi kawasan industri. Menjadi ironi, masyarakat adat dan komunitas lokal dieksklusi dan masuk penjara atas nama hutan, namun hutan di eksklusi atas nama investasi,” ujarnya.

Selanjutnya, Walhi Sumbar juga mendesak Gubernur Mahyeldi dan Pemprov Sumbar untuk segera memulihkan degradasi lingkungan yang terjadi akibat perluasan budidaya tambak udang ilegal maupun legal di kawasan pesisir pantai Sumbar.

“Bahkan sebagian hutan mangrove dikonversi untuk tambak udang, termasuk untuk kebun sawit. Dalam data resmi DLH Sumbar disebut, baku mutu air laut dan sungai di Padang Pariaman bahkan telah terlampaui akibat limbah tambak udang. Beberapa waktu lalu, kolam bekas tambak udang bahkan telah menjadi alat pembunuh anak kecil sekitar lokasi tambak,” katanya.

Di samping itu, Walhi juga meminta Pemprov Sumbar dan Gubernur Mahyeldi untuk membuat  peta jalan pemulihan hak ulayat untuk mengurai konflik agraria yang menumpuk di Agam, Pasaman Barat, hingga Dharmasraya terkait perizinan perusahaan sawit.

“Situasi saat ini HGU-HGU perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir. Kita tahu bahwa lokasi yang ini dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan itu pada zaman Orde Baru di akhir tahun 1980-an sampai 2000-an investasi besar. Sejak mereka hadir justru menghadirkan konflik,” katanya.

Pembuatan peta jalan atau roadmap penyelesaian konflik agraria ini diharapkan dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Kabupaten Dharmasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman, dan Pasaman Barat hingga Mentawai.

Secara khusus, Walhi juga mendesak penyelesaian akar encana ekologis yang terjadi sepanjang tahun di hampir seluruh kabupaten/kota. Situasi ini terjadi akibat akumulasi krisis ekologis, ketidakadilan, dan salahnya sistem pengurusan alam.

Adapun akar bencana ekologi itu di antaranya adalah investasi dan pembangunan tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana. Seperti tambang galian C di Air Dingin, Solok yang izinnya bahkan diterbitkan di kawasan Sesar Semangko.  “Contoh berikutnya, pembangunan pada kawasan Lembah Anai. Untuk urusan ini perlu satu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” ucapnya. (*)

Exit mobile version