Selain melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sektor kehutanan, Walhi Sumbar juga meminta Gubernur Mahyeldi untuk mengoreksi kebijakan pada sektor infrastruktur dan energi. Ia menegaskan, pemerintah harus konsisten menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam setiap kebijakan pembangunan.
Prinsip ini seringkali diabaikan oleh pemerintah dalam menjalankan agenda pembangunan. Pengabaian ini pada akhirnya bakal menuai penolakan masyarakat sekitar terdampak yang pada akhirnya hanya akan menambah deretan panjang titik-titik konflik agraria di Sumbar.
Wengki mencontohkan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol Padang-Sicincin yang terbukti diwarnai tindak pidana korupsi pengadaan tanah. Proses pembangunannya pun, telah melahirkan bencana sosial-ekologis yang luar biasa besar bagi masyarakat sekitar.
“Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat. Begitupun pada Seksi Pangkalan–Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Kota. Trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat seperti rumah gadang dan sebagainya,” katanya.
Pengabaian prinsip FPIC oleh Pemprov pada era kepemimpinan pertama Mahyeldi juga terbukti terjadi pada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Danau Singkarak yang hingga kini masih menuai penolakan dari masyarakat sekitar.
Mega proyek yang dilakukan atas nama energi baru terbarukan itu nyatanya sudah direkomendasikan Gubernur Mahyeldi kepada pemerintah pusat kendati proses dialog dan sosialisasi belum pernah dilakukannya secara langsung kepada masyarakat di tingkat tapak.