PADANG, HARIANHALUAN.ID – Perjuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menggugat keterbukaan informasi pencemaran udara yang telah dilakukan PLTU Ombilin, akhirnya kandas di hadapan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Jakarta.
Majelis hakim beralasan, gugatan keberatan yang diajukan LBH Padang tidak memenuhi aspek formal karena telah melewati tenggang waktu 14 hari kerja setelah putusan KIP diterima pada tanggal 19 Oktober 2024.
Sistem e-court pada PTUN Jakarta mencatat bahwa gugatan masuk pada 8 November 2024. Padahal, LBH Padang telah mengajukan gugatan tersebut sejak 7 November 2024. LBH Padang menduga ada kesalahan pada sistem e-court.
“Dengan keanehan ini, kami akan melakukan upaya hukum lanjutan berupa kasasi. Sekaligus menyurati Mahkamah Agung dan PTUN Jakarta terkait kesalahan sistem E-Court yang menyebabkan gugatan kami tidak diterima ,” ujar kuasa hukum LBH Padang Alfi Syukri kepada Haluan Kamis (20/2).
Diketahui, LBH Padang sebelumnya mengajukan ,Gugatan keberatan nomor : 437/G/KI/2024/PTUN.JKT atas putusan Komisi Informasi Publik Pusat (KIP) Nomor 102/VIII/KIP-PSI-A/2023 yang memutuskan bahwa informasi tentang kemajuan pelaksanaan sanksi administratif Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin, khususnya pemulihan kontaminasi abu batubara, bersifat tertutup untuk publik
Gugatan itu, telah diajukan LBH Padang sejak tanggal 7 November 2024 silam karena urgensi keterbukaan informasi publik mengenai pelaksanaan sanksi administratif, khususnya pemulihan kontaminasi abu batubara dan emisi udara, yang dikenakan pada PLTU Ombilin pada 28 Agustus 2018.
Informasi dan data pelaksanaan sanksi itu, diharapkan dapat menyingkap fakta mengenai keadaan lingkungan, kontaminasi abu batubara dan kemajuan pemulihan pencemaran lingkungan yang selama ini telah ditimbulkan oleh PLTU Ombilin.
“Enam tahun pasca diberikan sanksi pada tahun 2018, organisasi masyarakat lokal seperti LBH Padang terus melakukan pemantauan pelaksanaan sanksi dan menemukan bahwa masyarakat sekitar masih merasakan dampak buruk PLTU Ombilin,” jelasnya.
Berdasarkan catatan pemantauan LBH Padang, PLTU Ombilin terindikasi telah melakukan pelanggaran berulang. Namun hasil pemantauan tersebut, malah mendapat penolakan oleh KLHK dengan alasan data pemantauan tersebut tidak sesuai dengan standar KLHK.
“Hal ini menjadi alasan pengajuan gugatan KIP oleh LBH Padang, yaitu untuk memperoleh data langsung dari KLHK. Jika tidak, fungsi pemantauan dan keikutsertaan publik dan dorongan penegakkan hukum oleh LBH Padang menjadi hilang,” ucapnya.
Pada proses persidangan di Komisi Informasi Pusat (KIP), terjadi perbedaan pendapat Majelis (dissenting opinion) yang menyatakan bahwa dalil pengecualian informasi KLHK tidak dapat dibuktikan.
Namun pada intinya, gugatan yang didaftarkan LBH Padang di PTUN Jakarta itu, semestinya dapat mengungkap beberapa dugaan ketidaktaatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin yang tidak ditindak oleh KLHK dan menjelaskan situasi lingkungan yang berdampak pada masyarakat agar dapat diantisipasi risikonya.
“Namun akhirnya gugatan itu ditolak dengan alasan lewat jangka waktu pengajuan. Kami yakin Majelis Hakim telah keliru mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan yang sebenarnya. Kami sangat menyayangkan bahwa penolakan ini masih seputar aspek formal,” ucap Alfi Syukri.
Ia meyakini, gugatan keberatan yang diajukan sudah sesuai dengan aturan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2011 yaitu tanggal 7 November 2024 atau hari ke- 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diterima pada tanggal 19 Oktober 2024.
Pada hari itu, kata Alfi, semua berkas telah diupload LBH Padang sekaligusmembayar biaya perkara pada pukul 13:47 WIB melalui sistem pendaftaran elektronik.
“Namun dalam sistem pencatatan Panitera PTUN Jakarta teregister keesok harinya (8 November 2024). Tentunya pertimbangan ini keliru karena hakim tidak mengetahui gugatan telah didaftarkan sesuai dengan waktunya,” ujar Alfi.
LBH Padang juga mengungkap adanya indikasi kejanggalan selama berlangsungnya proses persidangan. Jangka waktu mengajukan gugatan, malah tidak pernah disoroti oleh Majelis hakim maupun KLHK (Tergugat).
“Padahal ini syarat formil untuk sampai pada substansi persidangan. Bagaimana mungkin kesalahan sistem e-court yang ada di PTUN Jakarta tapi kami pula yang menanggungnya? Akibatnya kepentingan publik untuk tahu terkait kontaminasi yang dilakukan PLTU Ombilin semakin gelap,“ pungkas Alfi. (*)