Publik Sumbar Mendesak Proses Hukum bagi Pelaku dan Rehabilitasi bagi Korban Kasus Kekerasan Seksual Lebih Cepat dan Lebih Tegas

TINGKATKAN PENGAWASAN – Sejumlah anak kecil bersepeda di salah satu kompleks perumahan di Kota Padang, Jumat (10/12). Diperlukan pengawasan ketat dari orang tua terhadap anak mengingat tingginya kasus kriminal yang membidik anak sebagai korban. FAJAR

PADANG, HALUAN — Publik berharap agar Aparat Penegak Hukum (APH) dan pemangku kepentingan terkait lainnya segera menuntaskan proses hukum bagi para pelaku kejahatan seksual. Selain itu, proses rehabilitasi pada korban harus diberikan semaksimal mungkin, sesuai dengan perkembangan fisik dan mental anak setelah kasus yang menimpanya terungkap.

Belakangan, publik Sumatra Barat (Sumbar) digegerkan sejumlah kasus kejahatan seksual, terutama sekali yang menimpa anak di bawah umur sebagai korban. Dari sekian banyak yang terkuak, kejahatan seksual terhadap kakak-adik berusia 5 dan 7 tahun di kawasan Mata Air, Kota Padang, yang digagahi oleh sejumlah anggota keluarga sendiri, adalah yang paling mendapat sorotan.

Selain itu, kasus kejahatan seksual oleh seorang guru mengaji terhadap para muridnya di salah satu musala di kawasan Bandar Buat, Kota Padang, juga menyentak publik. Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 463/572/PHPA/DP3AP2KB-2021 terkait pencegahan dan penanganan, tapi respons ini dinilai belum cukup.

Kepala Satuan (Kasat) Reskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda kepada Haluan menyebutkan, sejumlah berkas kasus kajahatan seksual atau pencabulan terhadap anak di bawah umur di Kota Padang, telah dilimpahkan oleh Polresta Padang ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang.

“Dalam kasus di Mata Air, ada dua pelaku di bawah umur dan tiga pelaku dewasa. Para pelaku dewasa, yaitu J (69) yang berstatus kakek korban, R (23) yang berstatus paman korban, dan A (16) yang berstatus sepupu ibu korban, akan segera disidangkan. Sudah kami limpahkan,” kata Rico.

Selain kasus dengan korban dua anak di bawah umur, sambung Rico, pihaknya juga terus mendalami kasus kejahatan seksual yang dilakukan oknum guru mengaji di salah satu musala di kawasan Bandar Buat. Hasil pengembangan terbaru menunjukkan, bahwa jumlah korban diperkirakan mencapai belasan orang.

“Kami perkirakan korban kejahatan seksual jenis sodomi oleh guru ngaji ini korbannya mencapai 15 orang, tapi sampai sekarang yang baru melapor ada lima orang,” ucapnya.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Ekasakti (Unes) Padang, Sahnan Sahuri Siregar, berharap agar penegak hukum bekerja cepat, profesional, dan serius dalam mengusut kasus kejahatan seksual. Terlebih untuk sejumlah kasus dengan para korban dari kalangan anak, dinilai sudah termasuk kejahatan luar biasa.

“Memang sensitivitas aparat penegak hukum amat dibutuhkan dalam hal ini. Sebab, kasus ini sudah dapat perhatian dan fokus pemerintah, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kebiri Kimia. Ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan hal sederhana,” kata Sahnan kepada Haluan, Jumat (10/12).

Terlebih, belakangan kasus kekerasan seksual marak terjadi dan dilakukan oleh orang terdekat korban. Bahkan, ada juga yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa, guru kepada murid, dan atasan kepada bawahan di perkantoran.

“Para penegak hukum harus sensitif terhadap hak-kak korban. Apalagi korbannya adalah anak. Jika korban adalah anak, saya menilai itu sudah masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa, karena bisa menghambat tumbuh kembang. Nah, jika diselesaikan secara kekeluargaan, akan membuka ruang ini terjadi kepada yang lain. Terlebih jika pelaku dari keluarga sendiri, trauma korban akan sulit terobati,” katanya lagi.

Psikis Korban Tidak Baik

Sementara itu, Direktur LSM Nurani Perempuan-WCC, Rahmi Meri Yenti menyebutkan, saat ini kondisi psikis dua anak korban kejahatan seksual keluarga di Kompleks Perumahan Cendana, Mata Air, Padang Selatan, mulai menunjukkan gejala yang tidak baik. Sehingga, rehabilitasi dan pemulihan oleh psikolog sangat mendesak untuk diberikan.

“Selama berada di Rumah Aman LSM Nurani Perempuan, kedua korban mulai kami pantau kerap melontarkan ucapan-ucapan vulgar dan porno saat bermain. Kami menilai, perilaku ini terjadi karena mereka sudah terpapar di lingkungan yang tidak baik dalam waktu yang lama,” kata Meri kepada Haluan, Jumat (10/11).

Ada pun tentang gejala Post Rape Trauma Syndrom (RTS) yang lazim ditemukan pada anak di bawah umur korban perkosaan, Meri mengatakan gejala itu sudah mulai berkurang pada dua korban, selama dipantau di Rumah Aman LSM Nurani Perempuan.

“Menariknya, tidak seperti anak bawah umur korban perkosaan lainnya, mereka sekarang tidak takut lagi saat berdekatan dengan orang asing maupun lawan jenis. Kami menduga hal itu karena kedua korban belum mengetahui batasan nilai dan norma. Ini juga disebabkan di lingkungan sebelumnya, melihat aktivitas seksual bukan tabu bagi mereka,” ucapnya lagi.

Mengingat kondisi psikis dan mental kedua korban yang dinilai menunjukkan gejala yang tidak baik itu, Meri menilai perlu segera dilakukan proses rehabilitasi lanjutan dari ahli yang lebih berkompeten, demi mengantisipasi terjadinya persoalan lain di kemudian hari.

“Ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak demi mencegah munculnya permasalahan yang lebih rumit. Rehabilitasi korban kekerasan seksual di bawah umur, jika tidak sempurna, hanya akan membuat psikis dan mental korban semakin memburuk, bahkan bisa saja bertransformasi menjadi pelaku di kemudian hari,” ujarnya lagi.

Darurat Nasional

Jumlah kasus kejahatan seksual belakangan semakin menjadi kegetiran dan makin memprihatinkan bahkan secara nasional. Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra kepada Haluan, Sabtu (11/12) mengatakan, ketimpangan perlakuan hukum yang tidak memihak pada korban menjadi salah satu pemicu maraknya kasus baru.

“Seperti kasus di salah satu pesantren Bandung yang sudah berlangsung dari rentang tahun 2016-2021, tidak ada yang bisa mendeteksi dan melapor. Padahal korban sudah melahirkan bayi. Jadi, memang saat ini yang dibutuhkan adalah, polisi, jaksa, dan hakim harus bekerja ekstra mengungkap kasus seperti ini, agar pelaku bisa terjerat hukum hingga tuntas, dan korban mendapat keadilan,” kata Jasra.

Kasus yang terjadi di Bandung, kata Jasra, sangat menjadi perhatian dan mengundang tanya publik, bagaimana bisa santri bertahun-tahun menjadi korban tanpa terdeteksi pengawasan bahkan orang tua korban juga tidak melapor. Ia berharap agar pelaku bisa segera diadili dan aparat penegak hukum mampu mengungkapkan fakta yang sebenarnya.

“Ini tidak hanya pidana, tapi juga praktek penipuan berkedok pesantren, membujuk dan merayu orang tua untuk menyerahkan anak ke pesantren yang ternyata digunakan untuk kejahatan seksual, menggunakan posisi dan jabatan untuk memperdaya anak. Artinya banyak yang harus diungkap aparat hukum dalam pembuktian pidana ini,” katanya lagi. (h/mg-rga/mg-fzi)

Exit mobile version