PADANG, HARIANHALUAN.ID — Ekonom UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Mohammad Alimah Shahmi menilai, rencana Pemprov Sumbar menerbitkan surat utang berbasis obligasi dan sukuk guna menopang pembangunan daerah adalah langkah yang cukup ambisius.
Menurut Shahmi, optimisme Gubernur Sumbar, Mahyeldi Anhsarullah bahwa perantau Minang bakal membeli surat utang ini menggambarkan keterikatan emosional dan budaya dengan kampung halaman dapat diterjemahkan ke dalam investasi.
“Namun, apakah kebijakan ini benar-benar solusi yang cerdas atau justru merupakan bom waktu yang siap meledak di masa depan? Apalagi jika menimbang kondisi tata kelola keuangan daerah dan tren fiskal dalam satu dekade terakhir. Tentu ada banyak hal yang patut dipertanyakan,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (23/2).
Sebelum rencana ini diwujudkan, menurutnya Gubernur harus menjelaskan bagaimana mekanisme pengembalian dana obligasi. Selain itu, Gubernur juga harus mampu memastikan bahwa hasil penerbitan surat utang akan dikelola dengan baik.
Sebab, perantau Minang tentu tidak akan serta-merta menginvestasikan dana mereka begitu saja hanya karena sentimen daerah. Berbagai pertanyaan ini harus mampu dijawab secara gamblang dan jelas agar kebijakan ini tidak hanya sekadar wacana populis yang membebani Sumbar pada masa mendatang.
Minim Transparansi dan Rencana Pengembalian yang Lemah
Sahmi menuturkan, tata kelola keuangan Sumbar dalam beberapa tahun terakhir memang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini menunjukkan kepatuhan terhadap standar akuntansi.
Namun demikian, opini WTP tidak serta-merta menjamin efektivitas pengelolaan anggaran, terutama dalam hal penerbitan surat utang daerah. Banyak daerah lain mengalami kesulitan dalam mengelola dana hasil penerbitan surat utang akibat perencanaan yang kurang matang, yang pada akhirnya membebani keuangan daerah dalam jangka panjang.
“Jika Pemprov tidak memiliki strategi yang jelas dalam mengelola dana yang diperoleh, maka risiko beban fiskal yang meningkat akan berpotensi berujung pada kenaikan pajak atau pemangkasan anggaran layanan publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Oleh karena itu, transparansi menjadi aspek krusial dalam penerbitan surat utang ini. Pemda harus secara terbuka menyampaikan skema pengembalian dana dan proyeksi pendapatan dari proyek yang dibiayai oleh surat utang tersebut.
Apakah obligasi ini memiliki dasar proyek dengan revenue yang jelas, atau hanya mengandalkan optimisme pertumbuhan ekonomi tanpa perencanaan yang terukur. Tanpa kepastian mengenai sumber pengembalian dana, surat utang justru dapat menambah beban fiskal daerah dan memperburuk kondisi keuangan dalam jangka panjang.
“Defisit yang semakin melebar akan menjadi ancaman nyata jika surat utang tidak dikelola dengan baik, sehingga pemerintah perlu memberikan jaminan bahwa investasi ini benar-benar dapat memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan,” ucapnya.