Lebih jauh, ia menekankan pentingnya bagi pemda untuk belajar dari pengalaman daerah lain yang mengalami kegagalan dalam pengelolaan surat utang. Evaluasi terhadap efektivitas proyek yang dibiayai oleh obligasi daerah harus dilakukan secara berkala agar risiko dapat diminimalkan.
Selain itu, keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan juga sangat diperlukan guna memastikan bahwa penggunaan dana publik benar-benar memberikan manfaat nyata bagi pembangunan daerah.
“Jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat, maka bukan tidak mungkin surat utang yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan justru berubah menjadi beban yang harus ditanggung oleh generasi mendatang,” ucapnya
Ia juga menilai, mengandalkan perantau Minang sebagai investor utama surat utang daerah adalah langkah yang sarat dengan eksploitasi sentimen emosional. Diaspora Minang di Jakarta dan kota besar lainnya adalah kelompok yang memiliki akses luas ke berbagai instrumen investasi lain yang lebih menguntungkan dan memiliki tingkat keamanan lebih tinggi, seperti obligasi negara (ORI), sukuk ritel (SR), atau instrumen investasi sektor riil.
“Nah, Jika Pemprov Sumbar berharap perantau Minang mau membeli surat utang hanya karena faktor ikatan budaya, maka ini adalah strategi yang terlalu naïf dan tidak realistis,” ucapnya.
Shahmi meyakini, para perantau Minang tentu memiliki kepedulian terhadap daerah asal mereka, tetapi mereka juga rasional dalam berinvestasi. Tanpa insentif yang jelas, misalnya suku bunga kompetitif atau skema bagi hasil yang menguntungkan, tidak ada alasan kuat bagi mereka untuk menanamkan modalnya dalam surat utang yang memiliki risiko tinggi.
“Jika Pemprov serius ingin menarik dana dari diaspora, seharusnya mereka menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar retorika emosional. Mereka harus menunjukkan bahwa investasi ini benar-benar menguntungkan secara ekonomi,” ujarnya.
Alternatif yang Lebih Berkelanjutan
Shahmi menekankan, daripada menerbitkan surat utang yang berisiko tinggi, Pemprov Sumbar seharusnya mengeksplorasi alternatif pendanaan yang lebih berkelanjutan. Salah satu opsi yang lebih efektif adalah skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang telah terbukti sukses di berbagai daerah lain.
Skema ini memungkinkan proyek infrastruktur tetap berjalan tanpa harus membebani APBD dengan utang baru. Selain itu, Sumbar memiliki potensi besar di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang bisa menjadi sumber pendapatan daerah jika dikelola dengan baik.
“Daripada berutang, Pemprov bisa menggandeng investor swasta dalam proyek berbasis ekowisata, pengembangan UMKM berbasis digital, atau revitalisasi destinasi wisata unggulan. Dengan strategi ini, pemerintah tidak hanya menghindari beban utang jangka panjang, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih sehat dan berdaya saing,” ucapnya.
Ia mengingatkan, penerbitan surat utang daerah oleh Pemprov Sumbar adalah kebijakan yang penuh risiko dan berpotensi menjadi jerat fiskal bagi masa depan daerah. Jika tidak dikelola dengan transparan dan profesional, kebijakan ini bisa menjadi beban berat bagi masyarakat Sumbar.
Mengandalkan diaspora Minang sebagai investor utama tanpa menawarkan insentif yang jelas adalah langkah yang terlalu optimistis dan bisa berujung pada kegagalan.
“Sebagai gantinya, pemerintah harus mempertimbangkan opsi yang lebih berkelanjutan seperti KPBU, investasi berbasis sektor unggulan, dan diversifikasi sumber pendapatan daerah. Tanpa perencanaan yang matang dan pengelolaan yang akuntabel, surat utang ini bukanlah solusi, melainkan jebakan ekonomi yang akan ditanggung oleh generasi mendatang. Pemprov Sumbar harus berpikir jangka panjang, bukan sekadar mencari solusi instan yang berisiko tinggi,” pungkasnya. (*)