Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tommy Adam menjelaskan, pelaporan dugaan maladministrasi penundaan berlarut itu dilakukan karena Pemprov Sumbar dan Pemkab Tanah Datar mengingkari kesepakatan yang pernah dibuat saat audiensi di Istana Gubernuran Sumbar pada 30 Mei 2024 lalu.
“Ketika itu, pemerintah daerah menyepakati akan segera membongkar bangunan hotel tanggal 10 Juni 2024, setelah sebelumnya dilakukan pemasangan plank di lokasi bangunan tersebut tanggal 31 Mei 2024. Namun faktanya, sampai hari ini terjadi penundaan berlarut, sehingga bangunan masih berdiri kokoh,” ujarnya, kepada Haluan.
Tommy menjelaskan, bangunan hotel tersebut jelas berdiri di kawasan rawan bencana dan dibangun di sempadan sungai yang berjarak nol meter. Bahkan pematangan lahan dilakukan dengan menimbun sungai. Situasi itu sangat berbahaya dan berpotensi mengancam nyawa di kemudian hari.
Indikasi bahwa kawasan itu rawan bencana, terbukti dengan terjadinya bencana banjir bandang yang menyapu habis akses jalan hingga beberapa kafe di kawasan Lembah Anai pada tanggal 11 Mei 2024 silam. Saat itu Cafe Xakapa dan bangunan lainnya hancur dihantam galodo.
Gayung bersambut, BKSDA Sumbar setelahnya juga melakukan penutupan di kawasan TWA Mega Mendung dengan mendirikan plang larangan di tiga titik lokasi yang ada di kawasan tersebut.
“Pelarangan ini juga sesuai dengan mandat PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Wisata Alam dan Pelestarian. Pembongkaran harus dilakukan karena akan mengancam kelestarian Kawasan Suaka Alam serta berbahaya bagi keselamatan pengunjung hotel nantinya,” tutur Tommy. (*)