PADANG, HARIANHALUAN.ID– Ranperda RTRW Sumatera Barat Tahun 2025-2045 mendapat penolakan keras dari masyarakat adat, terutama yang ada di Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Tanah Datar.
Di Mentawai, rencana menjadikan wilayah tersebut sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) menuai protes karena dianggap akan merusak hutan adat yang telah dikelola oleh masyarakat setempat dengan sistem Arat Sabulungan.
Masyarakat Mentawai yang telah lama mengatur pemanfaatan hutan mereka sendiri dengan prinsip-prinsip adat menganggap bahwa kebijakan RTRW yang mengabaikan hutan adat ini bisa berpotensi untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka.
“Kawasan hutan adat yang diakomodir dalam Ranperda hanya ada di Kabupaten Dharmasraya seluas 35 hektare. Sementara itu, Mentawai akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), yang tidak disetujui oleh masyarakat adat yang terdampak,” ungkap Indira Suryani, Direktur LBH Padang.
Di sisi lain, masyarakat Tandukek di Kabupaten Tanah Datar menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang direncanakan masuk dalam Ranperda RTRW.
Masyarakat Tandikek, yang telah belajar dari pengalaman buruk pembangunan PLTPB di Solok Selatan, khawatir bahwa kehadiran PLTPB akan merusak lingkungan hidup mereka.
“PLTPB menyebabkan penurunan kualitas sungai dan mengurangi lahan pertanian produktif, serta tidak memberikan manfaat pekerjaan yang signifikan bagi kami,” kata salah seorang perwakilan masyarakat Tandikek.