PADANG, HARIANHALUAN.ID — Meski telah disahkan menjadi perda, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan akan terus menggelorakan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sumbar Tahun 2025-2045.
Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar, Calvin menyampaikan, pihaknya masih terus melakukan konsolidasi dan penolakan terhadap Ranperda RTRW Sumbar, terutama kepada masyarakat yang langsung terdampak oleh kebijakan tersebut. “Kami tetap melakukan konsolidasi dan penolakan, terutama terhadap masyarakat yang akan terpengaruh oleh kebijakan ini,” kata Calvin, Selasa (18/3).
Ia menambahkan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar akan menggunakan berbagai cara untuk menekan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar agar membatalkan Ranperda RTRW. Salah satunya dengan membawa penolakan ini ke pemerintah pusat. “Kami akan berusaha segala cara, termasuk membawa masalah ini ke pusat. Kami juga akan melakukan penolakan di tingkat pusat sendiri,” ujarnya.
Calvin juga menegaskan bahwa pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan gugatan hukum jika Ranperda RTRW tersebut tetap diterapkan di Sumbar. “Jika Ranperda RTRW ini sah dan diterapkan, dan ada celah hukum, kami akan menggugat agar aturan ini dibatalkan,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, DPRD resmi mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumatera Barat (Sumbar) Tahun 2025-2045 menjadi peraturan daerah (perda) dalam rapat paripurna yang digelar di Ruang Sidang Utama DRPD Sumbar, Senin (17/3). Rapat paripurna tersebut sempat diwarnai aksi penolakan dari kelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar.
Berdasarkan pantauan Haluan di lapangan, menjelang Ranperda RTRW Sumbar 2025-2045 disetujui menjadi perda, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar tampak memasuki ruang sidang. Mereka membawa sejumlah spanduk yang berisi penolakan terhadap Ranperda RTRW Sumbar 2025-2045.
Selama rapat paripurna berlangsung, massa aksi terus membentangkan sejumlah spanduk protes berwarna hitam yang bertuliskan “Tolak Ranperda RTRW”, “RTRW Minim Partisipasi Bermakna”, “RTRW = Perampasan”, “RTRW Sumbar Cacat Substansi, “RTRW Cacat Prosedur”, dan lain sebagainya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani mengatakan, aksi penolakan ini dilancarkan karena penyusunan Ranperda RTRW Sumbar terindikasi dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik, sehingga dikhawatirkan dapat merampas ruang hidup masyarakat.
“Pembahasan ranperda yang dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik ini berpotensi melegalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) tanpa mempertimbangkan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Indira, ada beberapa alasan kenapa Ranperda RTRW Sumbar 2025-2045 tidak layak untuk disahkan sebagai perda. Pertama, ranperda ini terindikasi cacat prosedur. Apalagi Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Ranperda baru dilakukan pada tanggal 25 Februari 2025 sesuai dengan SK Nomor 2/SB/2025 tentang Pembentukan dan Penetapan Keanggotaan Panitia Khusus Pembahasan Ranperda RTRW 2025-2045.
Kurang dari satu bulan setelahnya, yaitu pada tanggal 5 Maret 2025, Pansus Ranperda RTRW DPRD Sumbar berkonsultasi ke Kementrian ATR/BPN. Saat itu, ada tiga poin yang disepakati sebelum perda ini disahkan, yaitu adanya naskah akademik dan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), adanya keterlibatan masyarakat dan akademisi dalam kajian awal, serta hasil konsultasi harus diumumkan dan menjadi dasar untuk perbaikan draf ranperda. “Namun sampai saat ini, per tanggal 17 Maret 2025, dokumen yang diminta Kementrian ATR/BPN itu tidak bisa diakses publik,” ucap Indira.
Pada tanggal 8 Maret 2025, Pansus Pembahasan RTRW 2025-2045 memang sempat mengundang Pemprov Sumbat, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, perguruan tinggi, ormas, dan pemangku kepentingan terkait. Namun, pertemuan tersebut hanya berlangsung satu hari. Dengan kata lain, kerja-kerja pansus untuk memastikan masyarakat mengetahui dampak RTRW dari segi ekonomi sosiologis dan lingkungan tidak maksimal.
“Terdapat masyarakat terdampak di 19 kabupaten/kota yang semestinya dilibatkan dan dipastikan mengetahui dampak dari tindakan yang dilakukan oleh perancang RTRW. Namun prosesnya hanya satu hari, yang cenderung melibatkan pemerintah desa atau nagari (government participation) dan tidak membuka konsultasi terbuka untuk seluruh pihak terdampak, salah satunya masyarakat adat,” katanya,
Dengan situasi itu, pada forum pertemuan yang berlangsung pada tanggal 8 Maret itu, peserta rapat hanya dapat memberikan masukan berupa perbaikan tanda baca, seperti titik dan koma saja. Karena persetujuan substansial telah dilakukan tanggal 20 Januari 2025, yang mana substansi tidak dapat lagi diubah atau diberikan masukan.
LBH Padang juga membeberkan sejumlah substansi yang tidak mengakomodasi keinginan masyarakat terdampak dan tidak pro lingkungan hidup. Salah satunya, tidak ada pengakuan Ranperda RTRW terhadap hutan adat di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Bahkan, dalam Ranperda RTRW itu Kabupaten Kepulauan Mentawai akan dijadikan kawasan ekonomi khusus. Sementara masyarakat Mentawai dengan kepercayaan Arat Sabulungan telah mengatur mengenai pemanfaatan hutannya.
Realitas di Mentawai, masyarakat setempat sering menemukan aktivitas industri di hutan yang beragam dengan motif ingin mengeksploitasi pohon kayu yang ada. Padahal, masyarakat adat setempat dengan Arat Sabulungannya telah punya skema tersendiri dalam pemanfaatan hutan adatnya.
“Kawasan hutan adat yang diakomodir dalam ranperda hanya memuat Kabupaten Dharmasraya sebanyak 35 hektare (pasal 39). Dalam Ranperda, Mentawai akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tanpa diketahui oleh masyarakat yang akan terdampak dan berpotensi terjadinya eksploitasi kayu yang ada di Mentawai,” ucapnya.
Keanehan lainnya, Masyarakat Tandikek di Kabupaten Tanah Datar telah menolak rencana kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Namun rencana tersebut nyatanya masih dimuat dalam Ranperda RTRW.
Sebelum menyatakan penolakan masyarakat Tandikek telah berdiskusi dan belajar dari pengalaman Solok Selatan (Solsel), di mana kehadiran PLTPB ternyata berdampak pada penurunan kualitas sungai serta menyebabkan berbagai masalah lingkungan, seperti yang terjadi di Poco Leok dan Mataloko.
“Selain itu, keberadaan PLTPB mengurangi lahan pertanian produktif dan tidak memberikan kesempatan kerja yang signifikan bagi masyarakat lokal, kecuali untuk pekerjaan nonteknis, seperti buruh kasar dan satpam. Setelah memahami dampak tersebut, masyarakat sepakat menolak PLTPB. Namun rencana ini tetap tercantum dalam Ranperda RTRW,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Sumbar, Muhidi yang memimpin jalannya rapat paripurna menyatakan, pihaknya akan meninjau kembali Ranperda RTRW sesuai dengan ketersediaan waktu yang ada. “Dalam demokrasi, penyampaian aspirasi adalah hal yang biasa, tetapi kami harapkan hal tersebut disampaikan dengan menghargai mekanisme yang ada di DPRD,” ujar Muhidi.
Ia menegaskan, pembahasan Ranperda RTRW Sumbar telah berlangsung sejak 2023 hingga 2025. Saat ini, anggota DPRD Sumbar 2024-2029 baru membahas selama dua bulan, namun Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kabupaten/kota, tokoh masyarakat, dan akademisi telah dilibatkan dalam prosesnya. “Kami berterima kasih atas kritik dan saran yang diberikan. Jika ada muatan yang perlu disesuaikan, ini tentu dapat direvisi,” kata Muhidi. (*)