Massa Datangi DPRD Sumbar, Pro Kontra RUU TPKS Masih Berlanjut

AKSI DAMAI — Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Umat (AMPU) Sumbar unjuk rasa di depan kantor DPRD Provinsi Sumbar, Kamis (16/12). Massa menolak pembentukan RUU TPKS dan Permendikbudristek No. 30. FAJAR

PADANG, HALUAN — Pro kontra terkait Rancangan Undang-Undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terus bergulir di tengah kian maraknya kasus kejahatan seksual. Termasuk di Sumatra Barat (Sumbar), ada pihak yang menolak, dan ada pula pihak yang mendesak agar RUU itu segera disahkan.

Terbaru, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Umat (AMPU) Sumbar menggelar aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU TPKS serta Peraturan Mendikbudristek No. 30 di halaman kantor DPRD Sumbar, Kamis (16/12). Massa menilai, RUU TPKS telah mengabaikan nilai keagamaan, moralitas, dan falsafah adat Minangkabau.

“RUU TPKS  mengabaikan nilai-nilai agama dan moralitas, dan terkesan memberikan ruang pada kebebasan dan penyimpangan seksual,” ujar Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sumbar, Syukron Novri Arpan, yang tergabung dalam barisan AMPU.

Syukron juga menyebutkan, bahwa AMPU menilai RUU TPKS mengandung sejumlah frasa ambigu, pengaburan jenis tindak pidana kekerasan seksual, penentuan alat bukti, defenisi saksi, jumlah hukuman pidana yang tidak adil, hingga intervensi integritas penegak hukum yang diabaikan oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dalam penyusunannya.

“Konsep konsensus seksual yang tercantum dalam RUU TPKS membuktikan bahwa RUU ini seperti mengkonfirmasi pelegalan zina, yang jika didasarkan pada perasaan suka sama suka,” ujar Syukron dalam orasinya.

Senada dengan Syukron, Ketua Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Sumbar, Haviz Rahmadika, juga menilai RUU TPKS menjadikan unsur paksaan atau ketiadaan kehendak sebagai satu-satunya unsur kesalahan dalam menentukan delik pidana.

“RUU TPKS hanya melihat permasalahan dari aspek kemanusiaan yang berlandaskan HAM, sehingga lepas dari intervensi nilai moralitas dan keagamaan. Padahal secara konstitusi, konsepsi HAM harus dibangun dengan pertimbangan nilai agama, moral, dan ketertiban umum, ” ujarnya.

Selain terkesan mendukung “legalisasi zina”, AMPU juga menilai RUU TPKS masih memberi ruang bagi kebebasan seksual, penyimpangan seksual, pelacuran, dan kejahatan seksual, lewat pemangkasan kategorisasi tindak pidana kekerasan seksual yang sebelumnya berjumlah sembilan, tetapi kemudian menjadi empat.

Selain RUU TPKS, peserta aksi juga menolak penerapan Permendikbud No. 30, yang disusun dengan mengacu pada RUU PKS maupun RUU TPKS. “Bagaimana mungkin suatu RUU yang belum disahkan bisa menjadi acuan dan aturan yang mengikat bagi aturan turunannya,” ucap Haviz Rahmadika.

AMPU Sumbar dalam aksi itu mengajukan enam poin tuntutan yang harus disampaikan oleh DPRD Sumbar ke DPR RI. Di antaranya, menolak RUU TPKS; mendesak Baleg DPR RI untuk menunda pengesahan dan melakukan perbaikan terhadap sejumlah materi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, moralitas, dan keagamaan; mendesak DPR memasukkan sejumlah poin yang mengatur tentang upaya pencegahan dan penindakan terhadap kebebasan seksual, penyimpangan seks, pelacuran, dan kejahatan seksual lainnya.

Selanjutnya, menolak segala peraturan yang disandarkan pada RUU TPKS, termasuk Permendikbudristek No 30 tahun 2021; mendesak Mendikbudristek untuk membatalkan Permendikbudristek No 30; dan terakhir Mendesak DPRD Sumbar mengambil sikap secara kelembagaan untuk ikut menolak.

Mendesak Pengesahan

Sebelumnya diberitakan, angka peristiwa kejahatan seksual belakangan menimbulkan kegetiran dan kian memprihatinkan, termasuk di Sumbar. Relasi yang tidak imbang antara pelaku dan korban dinilai menjadi pangkal bala semakin banyak kasus yang terjadi dan kemudian terkuak ke permukaan.

Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi (Kadivwasmonev) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra kepada Haluan, Sabtu (11/12) mengatakan, ketimpangan perlakuan hukum yang tidak memihak kepada korban selama ini juga menjadi salah satu pemicu maraknya kasus yang terjadi.

“Oleh karena itu, RUU TPKS ini mendesak untuk segera disahkan. Kita juga perlu mengingat bahwa beragamnya bentuk pola pengasuhan, belum semuanya diakomodir dalam regulasi yang ada, sehingga perlu payung regulasi pengasuhan setingkat UU, sehingga RUU TPKS ini diperlukan,” katanya menutup. (h/mg-fzi)

Exit mobile version