PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pakar hukum pidana dari Universitas Andalas (UNAND), Edita Elda, menegaskan, upaya pembersihan internal di kalangan aparat penegak hukum dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan langkah paling krusial dalam memerangi maraknya peredaran narkoba di wilayah Sumatra, khususnya Sumbar.
Menurut Edita, peredaran narkoba yang semakin masif bukan hanya menjadi ancaman serius bagi generasi muda, tetapi juga telah merusak sistem hukum dan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, ia menilai bahwa penegakan hukum terhadap pelaku narkoba, khususnya bandar dan pengedar kelas kakap, harus dilakukan secara tegas dan tanpa kompromi, termasuk dengan menjatuhkan vonis hukuman mati.
“Narkoba telah dikategorikan sebagai extraordinary crime, setara dengan tindak pidana terorisme. Maka, saya mendukung sepenuhnya vonis hukuman mati bagi para bandar dan pengedar besar yang selama ini menjadi aktor utama dalam rantai peredaran narkoba,” tegasnya kepada Haluan Rabu (7/5).
Lebih lanjut, Edita menjelaskan bahwa undang-undang tindak pidana narkotika di Indonesia sejatinya telah memberikan klasifikasi yang jelas terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba, yakni berdasarkan jumlah barang bukti yang ditemukan saat proses penangkapan dan penggeledahan.
“Jika barang bukti yang ditemukan kurang dari 0,05 gram, pelaku dapat dikategorikan sebagai pengguna. Dalam hal ini, hukuman penjara bukan solusi, justru yang bersangkutan perlu menjalani rehabilitasi di bawah Badan Narkotika Nasional (BNN) karena masih ada peluang untuk disembuhkan,” jelasnya.
Namun, jika barang bukti melebihi 0,05 gram, maka pelaku dikategorikan sebagai pengedar dan dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Untuk barang bukti dalam jumlah besar, mencapai ratusan gram, sanksi maksimal berupa pidana mati pun sah secara hukum.
“Saya pribadi mendukung penerapan hukuman mati terhadap pengedar narkoba dalam kategori berat. Mereka adalah aktor yang bertanggung jawab atas berbagai dampak sosial seperti kemiskinan, perdagangan manusia, hingga eksploitasi anak-anak sebagai kurir narkoba,” katanya.
Edita juga mengungkapkan keprihatinannya atas fakta bahwa banyak jaringan peredaran narkoba di Sumatra Barat justru dikendalikan dari balik jeruji besi oleh narapidana. Fenomena ini, menurutnya, mencerminkan lemahnya pengawasan serta suburnya praktik pungutan liar dan korupsi di dalam lembaga pemasyarakatan.
“Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan malah menjadi markas pengendali peredaran narkoba. Sayangnya, banyak napi masih bebas menggunakan alat komunikasi seperti handphone karena lemahnya pengawasan dan praktik pungli yang dibiarkan,” ujarnya.
Untuk memutus mata rantai peredaran narkoba, Edita menekankan pentingnya menjadikan Lapas sebagai kawasan steril dari segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk menjalankan aktivitas ilegal.
“Kalau ini tidak dihentikan, maka peredaran narkoba akan terus berlangsung. Bahkan sering kali, seorang pengguna yang masuk ke dalam Lapas, malah keluar dengan keahlian baru sebagai pengedar. Ini ironi sekaligus bahan evaluasi serius bagi aparat,” tutupnya. (*)