Pengantar :
Sosok Drs. H. Hasan Basri Durin begitu sangat berarti dalam perjalanan hidup saudagar Minang, H. Basrizal Koto. Berikut tulisan kenangan Basko yang pernah terbit beberapa tahun lalu, dua hari setelah meninggalnya Gubernur Sumatera Barat dua periode (1987-1997) itu.
**
HARIANHALUAN.ID – Lama saya tercenung membaca info di Group WA (WhatsApp) yang mengabarkan Pak Hasan Basri Durin (HBD) meninggal dunia pukul 00.30 WIB, Sabtu 9 Juli 2016 di Jakarta. Pikiran dan hati saya berkecamuk. Saya dan keluarga sedang berada di luar negeri dan baru kembali ke tanah air, Rabu 13 Juli lusa. Sementara Pak Hasan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Sabtu siang.
Ada rasa sesal yang menyusup. Sedih. Sangat sedih sekali. Tak terasa, air mata saya menetes. “Pak Hasan, hanya doa yang bisa saya kirimkan. Semoga Bapak khusnul khotimah, diterima segala amal dan ditempatkan di sisi Allah SWT yang terbaik. Amin YRA.
Dalam kegundahgulanaan saya mendapat kabar duka itu di negeri orang, sepenggal demi sepenggal saya tulis kenangan saya tentang Pak Hasan melalui sms dan WA. Lalu saya kirim kepada Zul Effendi, Pemimpin Umum Haluan untuk diedit dan diterbitkan di Haluan, Haluan Riau dan Haluan Kepri.
Bagi saya, Pak Hasan sudah seperti orang tua saya sendiri. Ketika saya masih mudo matah, di usia 30 tahunan, saya dapat telepon dari Pak Hasan yang kala itu Gubernur Sumbar. Kalau saya tidak salah ingat, itu sekitar tahun 1992.
“Bas, iko Pak Hasan, Gubernur Sumbar. Bas, kami undang ka Padang basamo pengusaha-pengusaha asal Minang lainnyo untuak mambangun kampuang halaman,” (Bas, ini Pak Hasan, Gubernur Sumbar. Bas kami undang ke Padang bersama pengusaha asal Minang lainnya untuk membangun kampung halaman). Begitu kira-kira kalimat Pak Hasan yang masih terngiang di telinga saya. Logat dan nada khas suara Pak Hasan, tidak akan pernah bisa saya lupakan.
Saya terkesima. Bangga bercampur kecut. Siapalah saya, anak muda yang masih belajar merintis usaha di Pekanbaru, ditelepon dan diundang oleh Gubernur Sumbar, Hasan Basri Durin untuk membangun kampung halaman. Usut punya usut, belakangan saya tahu, nama saya rupanya direkomendasi oleh Uda H Basril Djabar yang saat itu menjabat Ketua Kadinda Sumbar.
Tak tanggung-tanggung, dan ini yang membuat darah saya berdesir. Selain saya, Pak Hasan ternyata juga mengundang sederet pengusaha beken asal Minang di zaman itu, antara lain Uda Aminuzal Amin, Uda Abdul Latief, Uda Fahmi Idris, Uda Nasroel Chas dan Uda Is Anwar. Disanding dengan senior-senior saya itu, saya adalah anak mudo matah, kala itu. Baik dari segi umur maupun usaha.
Walau darah sedikit badampuang, tetap saya penuhi undangan Pak Hasan untuk pulang ke Padang. Sudah jadi sikap hidup saya dari dulu sampai kini, jika ada tantangan, berpantang saya mengelakkan. Saya berpikir, tidak ada yang tidak mungkin, bila saya mau. Apalagi ini yang memberikan tantangan Pak Hasan, Gubernur Sumbar yang saya kagumi.
Begitulah, singkat cerita, undangan Pak Hasan kepada saya dan sejumlah pengusaha nasional itu, akhirnya melahirkan Nagari Development Corporation (NDC). Perusahaan ini bertujuan untuk mendorong perekonomian masyarakat Sumatra Barat. Sejumlah rencana, salah satunya membangun kawasan Gunung Padang, bergulir saat itu. Karena saya masih muda, ya, saya hanya bisa sato sakaki dalam rencana besar tersebut.