HARIANHALUAN.ID – Psikolog asal Batu Sangkar yang merupakan Alumni UNAND dan UGM, Alfi Rahmadini, M. Psi Psikolog turut menanggapi kasus pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Padang Pariaman.
Menurutnya, pelaku bisa saja ada kemungkinan memiliki gangguan mental atau bahkan psikopat. Namun untuk mengetahui hal ini perlu dilakukan asesmen lebih lanjut untuk mengambil kesimpulan dengan tepat.
Terlepas dari kemungkinan itu, tak bisa dipungkiri bahwa perilaku ini adalah hal yang keji dan tidak selayaknya dilakukan oleh manusia terhadap makhluk lainnya.
Alfi mengatakan salah satu alasannya, seseorang bisa melakukan mutilasi adalah untuk menghilangkan bukti.
“Penghilangan ini bisa dilakukan karena takut ketahuan dan bingung jasad korban harus dibuang kemana,” ujarnya saat dihubungi Haluan, Kamis (19/06).
Merujuk dari kejadian ini, pelaku diketahui telah melancarkan aksinya lebih dari satu kali. Diakuinya telah ada 2 korban yang telah dihabisinya dan dikubur di sumur rumahnya.
Menurut Alfi, ketika hal ini dilakukan berulang, dapat terjadi karena pelaku merasa aman dengan aksi yang dilakukan. Yaitu tidak ada jejak dan tanpa ketahuan dalam waktu tertentu. Penyebab lainnya adalah adanya permasalahan psikologis pada pelaku, yaitu adanya kecemasan, trauma atau dorongan dan ketidakmampuan dalam pengelolaan emosi dengan tepat.
Berdasarkan simptom – simptom (pola tanda atau gejala yang dialami oleh seseorang yang menunjukkan adanya suatu kondisi tertentu) yang ada sebelumnya, mutilasi yang dilakukan ini dilakukan pada orang terdekat atau yang dikenal oleh korban.
Hal ini disebabkan karena mutilasi ini membutuhkan waktu yang panjang dan lingkungan yang aman sehingga ia perlu menguasai tentang korban dan situasi lingkungan.
Selain itu, pelaku yang mutilasi ini dapat dilakukan atas dasar luapan perasaan dan ekspresi emosi. Seperti marah, benci, dendam maupun perasaan lainnya. Ekspresi Emosi ini dapat disebabkan oleh permasalahan relasi seperti hubungan asmara, hutang, keluarga atau hubungan khusus lainnya.
Disisi lain, mutilasi juga dapat dilakukan karena adanya pembelajaran sosial, dengan belajar dari kasus-kasus yang ada sebelumnya.
“Perlu pendalaman terhadap kasus yang terjadi di Padang Pariaman ini. Namun penyebab ini dapat menjadi jawaban kemungkinan terjadinya perilaku mutilasi yang terjadi di Padang Pariaman,” ucap Alfi.
Dikatakannya, ketidakmampuan pelaku dalam mengelola emosinya terhadap korban dapat menjadi penyebab perilakunya. Begitu juga dengan kasus pelaku pada 2 korban lainnya di tahun 2024.
Selain itu, dugaan warga net tentang adanya kecenderungan pelaku merasa tidak bersalah, menunjukkan jika perasaan marah tersebut lebih besar dibandingkan dengan empati atau rasa sosial pelaku.
Belajar dari kasus ini, Alfi mengimbau para remaja yang sedang di fase labil dan penuh tantangan membiasakan komunikasi terbuka dan pola kedekatan yang “aman” dalam keluarga.
“Orang tua dan lingkungan terdekat harus mengajak anak untuk saling bercerita mengenai aktivitas dan pengalamannya, yang menyenangkan maupun sebaliknya. Oleh karena itu, anak akan merasa bebas dan terbuka dalam menyampaikan masalah yang ia hadapi pada orang tua, apakah berkaitan dengan akademik, asmara, hingga keuangan,” tuturnya.
Selain itu keterbukaan, kesabaran dan ketenangan orang tua dalam menanggapi anak akan mempengaruhi bagaimana anak menyelesaikan masalah yang ia hadapi.
Orang tua juga perlu memahami pola perilaku anak. Sehingga akan menyadari perubahan apapun yang terjadi pada anak.
“Perubahan ini dapat berupa perubahan tingkah laku, rutinitas, atau pola komunikasinya. Kepekaan ini tentu juga dibantu dengan komunikasi terbuka,” kata Alfi.
Selain itu, dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar perlu untuk membangun relasi sosial yang positif, hati-hati dalam bertutur dan bersikap. Pastikan aktivitas yang dilakukan sesuai dengan usia dan tidak melanggar norma. Sebab kebanyakan pelaku pembunuhan disertai mutilasi adalah orang-orang terdekat dalam lingkup sosial yang sama. (h/yes)