Dana earmark wajib dialokasikan ke sejumlah sektor strategis seperti ketahanan pangan (minimal 20 persen dari pagu), pencegahan stunting, bantuan langsung tunai (maksimal 15 persen), infrastruktur dasar, penguatan potensi desa, perubahan iklim, serta padat karya tunai. “Selain itu, juga diarahkan untuk digitalisasi desa serta penguatan kelembagaan ekonomi seperti koperasi dan BUMNag,” kata Yozarwardi.
Sedangkan dana non-earmark dapat digunakan sesuai kebutuhan spesifik desa atau nagari, namun tetap harus dirancang dalam APBDes dan mendapat pengesahan dari pemerintah daerah.
Lebih lanjut ia menjelaskan, penyaluran dana desa tahun 2025 dilakukan dalam dua tahap dan disesuaikan dengan kategori desa. Untuk nagari/desa berstatus mandiri, pembagiannya adalah 60 persen pada tahap pertama serta 40 persen tahap kedua. Sedangkan bagi desa berkembang, maju, dan tertinggal ialah sebaliknya, 40 persen awal dan 60 persen tahap kedua.
Pencairan tahap pertama dapat dilakukan setelah nagari menyelesaikan APBDes tahun berjalan, mendapat rekomendasi bupati/wali kota, serta melaporkan penggunaan dana tahun sebelumnya. “Untuk tahap kedua, syarat tambahannya adalah penyelesaian komitmen penganggaran dalam mendukung koperasi desa merah putih,” ujarnya.
Dengan tren alokasi yang terus meningkat dan penguatan tata kelola keuangan desa, Pemprov Sumbar optimistis upaya percepatan pembangunan berbasis nagari akan semakin konkret. Terlebih dengan terus berkurangnya jumlah desa tertinggal dan meningkatnya desa mandiri. “Ini bukan semata soal jumlah anggaran, tapi soal bagaimana desa membangun dari dirinya sendiri. Dana desa hanyalah instrumen. Kuncinya ada pada kolaborasi, akuntabilitas, dan semangat membangun dari bawah,” ujarnya. (*)