PADANG, HARIANHALUAN.ID — Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat (Sumbar) mencatat jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut per Maret 2025 sebanyak 312,35 ribu orang atau 5,35 persen dari total populasi. Angka ini menurun sebanyak 3,08 ribu orang (0,07 persen poin) dibandingkan kondisi September 2024 yang tercatat 315,43 ribu orang atau 5,42 persen.
Kepala BPS Sumbar, Sugeng Arianto, menyampaikan bahwa secara umum tingkat kemiskinan di Sumbar menunjukkan tren menurun selama sembilan tahun terakhir. Pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin mencapai 371,56 ribu jiwa (7,09 persen), dan kini berkurang menjadi 312,35 ribu jiwa (5,35 persen).
“Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan basic needs, yakni melihat kemampuan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, berdasarkan Garis Kemiskinan (GK),” ujar Sugeng dalam keterangan tertulis, Jumat (25/7/2025).
Pada Maret 2025, GK di Sumbar tercatat sebesar Rp729.806 per kapita per bulan, naik 2,07 persen dari Rp714.991 pada September 2024. Jika dibandingkan dengan Maret 2024 (Rp708.416), kenaikannya mencapai 3,02 persen.
Secara wilayah, jumlah penduduk miskin di perkotaan menurun 6,24 ribu orang, sementara di pedesaan justru naik 3,15 ribu orang. Persentase penduduk miskin di perkotaan turun dari 4,16 persen menjadi 3,91 persen, sedangkan di pedesaan naik dari 6,79 persen menjadi 6,93 persen. GK perkotaan meningkat 3,06 persen, sedangkan GK pedesaan naik 1,03 persen.
Komoditas Penyumbang Garis Kemiskinan
Beras menjadi komoditas makanan penyumbang terbesar pada GK, baik di perkotaan (22,48 persen) maupun pedesaan (26,19 persen). Disusul oleh rokok kretek filter (12,39 persen di perkotaan dan 14,29 persen di pedesaan), serta cabai merah, telur ayam ras, ikan tongkol/tuna/cakalang dan daging ayam ras.
Untuk komoditas bukan makanan, perumahan tercatat sebagai penyumbang terbesar (7,10 persen di perkotaan dan 6,51 persen di pedesaan). Diikuti oleh bensin, pendidikan, listrik, perlengkapan mandi dan pakaian jadi anak-anak.
“Persoalan kemiskinan bukan hanya soal jumlah dan persentase, tapi juga mencakup kedalaman dan keparahannya. Kebijakan harus menyasar kedua aspek tersebut,” kata Sugeng.