PADANG, HARIANHALUAN.ID — Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan angka kemiskinan di Sumatera Barat (Sumbar) pada Maret 2025, sejumlah pihak menilai bahwa capaian tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil masyarakat di lapangan.
Salah satunya datang dari Ekonom Universitas Andalas, Prof. Syafruddin Karimi, yang menilai bahwa realitas kemiskinan di Ranah Minang jauh lebih kompleks daripada angka statistik semata.
Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Sumbar pada Maret 2025 tercatat 312,35 ribu jiwa (5,35 persen), turun dari 315,43 ribu jiwa (5,42 persen) pada September 2024. Namun, Prof. Syafruddin mengingatkan agar capaian ini tidak lantas menimbulkan optimisme semu.
“Angka statistik yang menurun belum tentu mencerminkan perbaikan substantif dalam kualitas hidup masyarakat miskin, terlebih di wilayah perdesaan,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (27/7/2025).
Lebih lanjut, Prof. Syafruddin menyoroti adanya kecenderungan konsentrasi kemiskinan di wilayah pedesaan. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk ketimpangan spasial yang perlu segera direspons.
Salah satu indikator yang mendukung pendapatnya adalah kenaikan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dari 0,730 pada September 2024 menjadi 0,736 pada Maret 2025, serta kenaikan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) dari 0,154 menjadi 0,164.
“Kenaikan ini menunjukkan bahwa penduduk miskin yang tersisa kini dalam kondisi yang lebih rentan dan jauh di bawah garis kemiskinan,” katanya.
Data BPS mengungkapkan bahwa pada Maret 2025, nilai P1 di pedesaan mencapai 0,921, sementara di perkotaan hanya 0,568. Nilai P2 di pedesaan juga lebih tinggi, yakni 0,195, dibanding 0,135 di kota.
“Ini bukan lagi soal jumlah orang miskin, tapi tingkat kesulitan hidup mereka. Kemiskinan sekarang lebih dalam dan lebih parah,” ucapnya.
Perbedaan Standar: BPS vs Bank Dunia
Prof. Syafruddin juga mengingatkan masyarakat agar memahami perbedaan antara indikator kemiskinan yang digunakan BPS dan Bank Dunia. Menurutnya, pendekatan basic needs yang digunakan BPS mengacu pada pengeluaran minimum untuk kebutuhan pokok, sementara Bank Dunia menggunakan standar global berbasis daya beli (purchasing power parity/PPP).
Garis kemiskinan BPS di Sumbar pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp729.806 per kapita per bulan. Sementara itu, Bank Dunia menetapkan ambang kemiskinan ekstrem sebesar USD2,15 per hari, dan kategori menengah antara USD3,65 hingga USD6,85 per hari.
“Indikator BPS cocok untuk perencanaan kebijakan lokal. Tapi Bank Dunia memberi kita cermin, di mana posisi kita dibandingkan dunia. Kita tidak boleh menutup mata terhadap standar global,” tuturnya.
Prof. Syafruddin mendorong pemerintah daerah untuk tidak hanya mengejar pencapaian statistik, tetapi juga berfokus pada perbaikan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama di pedesaan. Beberapa langkah yang dia usulkan antara lain, pendekatan berbasis wilayah, intervensi terhadap harga pangan pokok, program padat karya di sektor riil dan jaring perlindungan sosial yang berkelanjutan.
“Tanpa koreksi arah kebijakan, penurunan kemiskinan hanya akan menjadi pencapaian statistik, bukan kesejahteraan nyata,” ucapnya.
Dengan demikian, meskipun Sumbar menunjukkan kemajuan dari sisi angka, tantangan substantif kemiskinan tetap memerlukan perhatian serius dan kebijakan yang lebih menyentuh akar permasalahan sosial ekonomi masyarakat. (*)