PADANG, HARIANHALUAN.ID — Lebih dari 145 ribu petani di Sumatera Barat (Sumbar) menggantungkan hidup dari komoditas gambir. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, harga gambir terus merosot tajam hingga membuat petani kian terhimpit. Alih-alih mendapat keuntungan, mereka justru menanggung kerugian.
Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Petani Gambir Sumbar, Guswardi, SPt, MSi, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 100 ribu petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota dan sekitar 45 ribu di Kabupaten Pesisir Selatan.
“Harga gambir sudah lama hancur. Gambir basah dengan kadar air 18 persen hanya dihargai sekitar Rp25 ribu per kilogram. Sementara untuk gambir kering atau murni dengan kadar air nol persen, harga tertingginya di tingkat petani hanya Rp60 ribu per kilogram,” ujar Guswardi di Padang, Selasa (5/8/2025).
Ia menambahkan, harga tersebut masih sangat jauh dari harapan petani karena tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan dalam proses pengolahan. Sebelumnya, harga gambir kering bahkan pernah mencapai Rp150 ribu per kilogram. Kini, menurutnya, jangankan untung, petani justru buntung.
Secara ideal, lanjut Guswardi, harga yang layak di tingkat petani adalah Rp45 ribu per kilogram untuk gambir basah dan Rp90 ribu hingga Rp100 ribu per kilogram untuk gambir kering.
Ia menilai anjloknya harga gambir disebabkan oleh monopoli harga yang dilakukan oleh pembeli besar asal India. Para saudagar dari India yang membeli gambir melalui pedagang pengumpul lokal bisa menentukan harga sesuka hati, sehingga pengepul pun memberikan harga rendah kepada petani.
“Pasar ekspor gambir Sumbar memang masih sangat tergantung kepada India. Karena itu mereka bisa dengan mudah mengontrol harga di tingkat petani,” katanya.
Untuk mengatasi persoalan ini, asosiasi telah berupaya mencari pasar baru untuk produk olahan gambir seperti katekin dan tanin, yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Harga katekin disebut bisa mencapai Rp1,5 juta per kilogram, sedangkan tanin sekitar Rp900 ribu per kilogram. Namun sayangnya, pembelian dalam jumlah besar untuk kedua produk itu masih sangat terbatas.
“Pasar untuk olahan katekin dan tanin belum bisa diandalkan menyerap produksi petani secara signifikan,” katanya.