Polemik Berlarut-larut, BPN Diminta Tegas Menentukan Status Tanah Kaum Maboet

Tokoh Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) sekaligus Mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol (Purn) Fakhrizal.

PADANG, HALUAN — Potensi ekonomi yang terdapat di atas tanah seluas 765 hektare (ha) di empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, tak dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena persoalan status tanah yang masih membingungkan, antara Tanah Negara atau Tanah Adat milik Kaum Maboet

Persoalan ini telah berlarut-larut, dan menimbulkan kesimpangsiuran informasi di kalangan masyarakat umum. Oleh karena itu, Tokoh Masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) yang juga Mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol (Purn) Fakhrizal, menilai “benang kusut ini perlu diurai” oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dengan mempertegas status dari ratusan hektare tanah tersebut.

“Di satu sisi, BPN menyebut status tanah ini adalah Tanah Negara, dan memang sudah banyak sertifikat yang terbit di atas tanah itu, dengan alas hak Tanah Negara. Namun, BPN juga mengeluarkan surat-surat yang menyebutkan status tanah ini adalah Tanah Adat milik Kaum Maboet,” kata Fakhrizal kepada Haluan, saat dimintai keterangan terkait opini berjudul “Membahas Polemik Tanah Maboet, Siapa yang Sebenarnya Mafia” yang ia tulis sendiri dan telah menyebar lewat berbagai media.

Dalam kesempatan itu, Fakhrizal juga menunjukkan sejumlah dokumen elektronik surat-surat BPN Padang, yang menjelaskan bahwa tanah 765 hektare itu merupakan Tanah Adat milik Kaum Maboet, di antaranya surat nomor MP.01/707/13.71/VII/2019. Ada pun Fakhrizal sendiri, saat masih menjabat Kapolda Sumbar (2016-2019), juga turut serta mencari jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

“Jadi, sumber masalah tanah 765 hektare di empat kelurahan di Kecamatan Koto Tangah ini adalah ketidaktegasan BPN terkait status tanahnya. Sehingga, sampai-sampai masyarakat yang bermukim di atas tanah-tanah itu juga menanggungkan akibat. Banyak dari masyarakat yang tidak bisa memiliki sertifikat karena masalah alas hak,” ucap Fakhrizal lagi.

Oleh karena itu, Fakhrizal berharap agar Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Sumbar dan Kepala Kantor BPN Kota Padang, mempertegas status tanah tersebut. Sehingga, jika memang ditetapkan sebagai Tanah Negara 1794, maka BPN harus menganulir surat yang dikeluarkan oleh Kakan BPN Kota Padang Elfidian pada tanggal 24 Juli 2019, yang menyatakan bahwa objek tanah tersebut merupakan hak milik kaum Maboet dengan Lehar sebagai Mamak Kepala Waris (MKW).

Terlebih, sambung Fakhrizal, surat-surat itu sudah dikirim kepada Menteri ATR/BPN RI, Ketua KPK RI, Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Kakanwil BPN Sumbar, Wali Kota Padang, Kapolresta Padang, Kajari Padang, Camat Koto Tangah, Lurah di empat kelurahan, Ketua KAN Koto Tangah, Ketua KAN Nanggalo, Ketua LKAAM Sumbar, dan pada ahli waris Kaum Maboet MKW Lehar.

“Saya yakin, sebelum mengeluarkan surat itu, BPN Padang sudah melalui pertimbangan yang matang dan memiliki dasar yang kuat. Tetapi, kalau berani mengeluarkan surat, tentu juga harus berani pula menganulirnya, serta berani mempertanggungjawabkan akibat hukum yang datang sesudahnya. Saya rasa ini akan bagus karena akan ketahuan di mana salahnya dan siapa yang harus bertanggung jawab,” ujarnya lagi.

Ada pun jika status tanah sudah dipertegas, sehingga konsekuensi hukum yang mengiringinya juga ditempuh, Fakhrizal menilai pihak-pihak terkait di BPN juga harus bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan yang selama ini terjadi di atas tanah seluas 765 hektare itu.

Fakhrizal juga menilai, proses hukum yang tegas dan berkeadilan sangat penting diambil demi menjaga hak-hak masyarakat yang bermukim di atas tanah tersebut. Sebab jika tidak, masalah ini ia nilai tidak akan pernah selesai, dan dampak lebih jauhnya adalah pengembangan nilai ekonomis dari tanah-tanah tersebut yang bakal terhambat.

“Siapa pula yang berani ‘membangun’ kalau tanahnya masih bermasalah seperti itu. Menurut saya, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam penyelesaian masalah ini. Pertama, terkait kepastian hukum hak tanah bagi Kaum Maboet yang memang telah lama mereka perjuangkan. Kedua, nasib ribuan warga yang tinggal di atas tanah itu. Ketiga, penyelamatan uang negara dari potensi korupsi yang bisa terjadi di atas tanah 765 hektare itu,” ucap Fakhrizal lagi.

BPN dan pihak-pihak lainnya, sambungnya, juga tidak berhak mengatakan bahwa putusan pengadilan terkait objek tanah 765 hektare tersebut, sebagai error in objekto dalam proses keperdataannya. Selain itu, katanya lagi, surat yang di keluarkan BPN Kota Padang juga dokumen negara yang berkekuatan hukum.

Terkait keterangan yang disampaikan Jenderal Bintang Dua itu, Haluan telah berusaha melakukan konfirmasi kepada Kepala Kanwil BPN Sumbar, Saiful, dan Kepala Kantor BPN Padang, Antoni. Akan tetapi, usaha konfirmasi ke dua pejabat itu terbentur prosedur wawancara, yang mengharuskan surat pengantar untuk mewawancarai Kakanwil, dan harus diawali pertemuan dengan bagian informasi untuk mewawancarai Kakan BPN Padang.

Selain itu, Haluan juga berulang kali mengupayakan konfirmasi secara daring dan telfon kepada Kepala Kanwil BPN Sumbar dan Kakan BPN Kota Padang. Namun, hingga berita ini diturunkan, Haluan belum mendapatkan respons sebagaimana yang diharapkan.

Akan tetapi, berdasarkan keterangan kepada wartawan yang kemudian dikutip Haluan, Kakan BPN Padang Antoni menegaskan bahwa terkait persoalan tanah seluas 765 hektare tersebut, maka pihaknya tetap akan berpedoman pada ketentuan terhadap penguasaan fisik di atas dan tanah negara bekas recht van eigendom No.1974.

“Di luar bidang tanah sebagaimana dimaksud, sebelum diterbitkan sertifikatnya, dapat diproses permohonan haknya. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ini yang menjadi pedoman bagi kami,” ucapnya singkat. (h/isq/ze)

Exit mobile version