Dikatakan Sukarli, pemenuhan kebutuhan sapi sebagai hewan kurban tidak serta-merta karena terbatasnya ketersediaan sapi lokal saja, namun juga dipengaruhi oleh dinamika perdagangan ternak itu sendiri. “Untuk kurban itu ada warga yang kebutuhan sapinya berbeda-beda, sehingga mereka memesan ke daerah luar sesuai kebutuhan. Begitupun warga dari luar Sumbar, karena cocok dengan kebutuhan maka mereka memesan sapi Sumbar,” kata Sukarli.
Ia mencontohkan kecenderungan warga Bukittinggi, Payakumbuh dan 50 Kota untuk menyembelih sapi ukuran besar, jenis Brahman yang didatangkan dari Lampung. Sedangkan sapi yang dijual ke luar daerah, misalnya berasal dari Pesisir Selatan.
Peluang Ekonomi
Lebih jauh Sukarli menyebutkan, terjadinya peningkatan kebutuhan akan hewan kurban ini merupakan peluang ekonomi yang bisa diambil dari sektor peternakan dengan cara meningkatkan populasi sapi lokal.
Untuk mendukung peningkatan produksi sapi itu pemerintah telah menyiapkan program integrasi yang memadukan peternakan dengan perkebunan sawit di beberapa daerah. “Sumbar punya perkebunan sawit yang cukup luas, ini adalah peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan populasi sapi lokal,” jelasnya.
“Misalnya, ada daerah yang memiliki lahan perkebunan sawit 250 ribu hektare. Jika satu hektare sawit dipelihara satu ekor sapi, maka akan ada tambahan 250 ribu ternak sapi,”katanya mencontohkan.

Tentang wacana integrasi lahan sawit dan ternak sapi, Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI Sumbar Dr. Ir. Basril Basyar MM., pada Selasa (12/8) menilai, hal tersebut masih membutuhkan kajian yang mendalam. Hal ini, lanjutnya, pernah dibahas saat ia menjadi moderator dalam sebuah seminar beberapa waktu lalu. Apakah kotoran sapi di lahan sawit akan menjadi potensi menyuburkan atau malah berakibat negatif, masih perlu diteliti lebih jauh.