Namun, ia juga mengingatkan masih banyak persoalan di lapangan yang menghambat kemandirian fiskal. Salah satunya adalah praktik pungutan liar (pungli) dari kelompok masyarakat sekitar atau anak kampung (akamsi), yang justru melemahkan iklim investasi dan distribusi.
Lebih jauh, Prof. Yulhendri menilai Pemprov Sumbar belum menunjukkan usaha nyata dalam meningkatkan kemandirian fiskal. Perusahaan-perusahaan daerah seperti hotel dan kawasan industri dinilai tidak berjalan optimal, bahkan cenderung merugi. “Pemprov masih terlalu mengandalkan pajak kendaraan bermotor sebagai sumber utama penerimaan,” ujarnya.
Menurutnya, potensi dari aset-aset daerah sebenarnya cukup besar, mulai dari sektor perhubungan, fasilitas olahraga, hingga pariwisata. Namun hingga kini, belum terlihat upaya serius dari pemerintah provinsi untuk memaksimalkan sumber-sumber tersebut. “Tidak ada inovasi daerah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata,” tutur Yulhendri.
Ia menjelaskan, kemandirian fiskal pada dasarnya mencerminkan daya beli dan kemampuan konsumsi masyarakat. Jika konsumsi masyarakat tinggi, maka daerah akan mendapat manfaat langsung dari pajak konsumsi. Misalnya, pajak kendaraan bermotor saat masyarakat membeli mobil, atau pajak hotel dan restoran sebesar 10 persen dari aktivitas konsumsi wisatawan maupun warga lokal.
Dengan demikian, strategi mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat juga menjadi kunci untuk meningkatkan PAD. “Semakin tinggi daya beli masyarakat, semakin besar pula peluang pemerintah daerah meningkatkan penerimaan,” ujarnya.
Sayangnya, akibat rendahnya kemandirian fiskal, penerimaan daerah saat ini sebagian besar hanya digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah. Artinya, PAD belum mampu dialokasikan secara optimal untuk transfer subsidi kepada masyarakat ataupun mendukung pembangunan infrastruktur yang lebih luas.