Oleh: Elly Delfia
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
In ahsantum-ahsantum lianfusikum, wa-in asaktum falaha
“Inilah yang kubaca dalam Al Quran, kitab suci yang mulia, ayat ketujuh dalam surat Al Isra” (Hardi Abu Rafa)
Kutipan pembuka di atas merupakan bagian puisi berjudul “Karma dan Samsara” yang ditulis oleh Hardi Abu Rafa, nama pena dari Prof. dr. Hardisman, seorang guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Puisi-puisinya hadir sebagai penyeimbang antara sisi kehidupan intelektual sebagai guru besar dan sisi kehidupan sastra tempat berlabuh kata-kata penuh estetika.
Puisi “Karma dan Samsara” termuat dalam buku Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba (selanjutnya disingkat TMCSH) mengandung pesan yang mengingatkan manusia tentang karma atau hukum tarik balas. Setiap kebaikan akan dibalas dengan kebaikan (dengan surga/nirwana) dan setiap keburukan akan dibalas dengan samsara ‘kesengsaraan’. Hukum demikian ada dalam setiap kitab suci agama, seperti Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan kitab agama lainnya.
Buku yang diterbitkan oleh Bintang Semesta Media, Yogyakarta pada tahun 2022 itu memuat 66 puisi yang dibagi atas empat bagian. Bagian satu terdiri atas 22 puisi dengan tema religiusitas, tauhid, dan spritualitas. Bagian dua terdiri atas 11 puisi dengan tema cinta dan kasih sayang. Bagian tiga terdiri atas 11 puisi dengan tema nasionalisme dan kebangsaan. Bagian empat terdiri atas 22 puisi dengan tema motivasi dan kritik sosial.
Secara umum, puisi-puisi Hardi Abu Rafa termasuk ke dalam jenis puisi (teks) religius yang dalam kajian wacana disebut dengan wacana religiusitas. Wacana ini menggali nilai-nilai keagamaan yang ada dalam kitab suci (Al Quran, Injil, Weda, Tripitaka, dan kitab suci lainnya). TMCSH mengekspos nilai-nilai keagamaan, seperti tauhid (keyakinan yang teguh) terhadap Tuhan, nilai-nilai ke-Islaman, amal baik dan buruk, asal mula penciptaan manusia, ketawadhuan, dan maqam (proses penghambaan diri kepada Tuhan). Puisi-puisi tersebut menjawab kegelisahan Karen Astrong yang tertuang dalam buku berjudul The Last Art of Scrip-ture Rescuing The Sacred Texts yang menyebutkan bahwa kemampuan penganut agama menggali lebih jauh aspek yang paling berharga dari kitab suci sudah mulai luput dari perhatian (Nasution, 2023).
Meskipun belum tercatat sebagai sastrawan besar sekelas Taufik Ismail yang juga berlatar belakang kedokteran, Hardi Abu Rafa mampu menciptakan puisi-puisi religius dengan warna dan rasa yang berbeda. Diksi-diksi yang digunakan TMCSH terkesan mahal dan elegan. Tema religiusitas, cinta kasih, dan sikap kritis terhadap berbagai persoalan sosial tidak tiba-tiba hadir begitu saja. Ia ditemani banyak referensi dari penjelasan ayat-ayat yang ada dalam Al Quran. Tema-tema universal diangkat penulis tidak hanya berasal dari imajinasi semata, tetapi juga hadir dari penggalian terhadap aspek-aspek yang berharga dari ayat-ayat Al Quran sehingga puisi-puisi tersebut hadir dengan keindahan dan penuh makna.
Beberapa surat yang menjadi referensi, di antaranya Surat Al Baqarah, Al Maun, Ar Ruum, Al Imran, dan Adz Zariyat untuk puisi “Masjid Haram, Eropa, dan Lockdown” serta Surat Ath Thariq, An Najm, Al Furqan, Al Insan, Al Alaq, Al Mu’minun, Al Mu’min, Al Hajj, Al Hijr, dan As Sajadah yang terdapat pada puisi “Awal Mula Jalan”, dan masih banyak surat, ayat, dan hadits yang digunakan pada puisi lainnya.
Wacana religiusitas dalam TMCSH tidak melulu soal dosa, surga, dan neraka, tetapi juga tentang tauhid yang secara lembut memberikan penyadaran pada manusia tentang kewajiban terhadap Tuhannya dan kritik sosial yang memberikan penyadaran pada setiap individu tentang kewajiban sebagai anggota masyarakat. Wacana religiusitas disampaikan dengan gaya bahasa yang ringan dan mengalir bak bercerita. Gaya yang sejak lama telah mendapat perhatian para linguis. Sejak lama para linguis telah tertarik untuk meneliti hubungan antara bahasa yang menceritakan sebuah kisah dan sudut pandang (point of view) tentang apa yang tampak dari cara/gaya bercerita itu (Lee, 1992: Simpson, 1993, Montgomery, 1996, Thomas & Wareing, 2021). Dari sana fungsi bahasa benar-benar tampak dan berperan dalam mengatur komunikasi manusia.
Chaplin (1997) dalam Hakiki, dkk. (2023) berpendapat bahwa religiusitas merujuk kepada agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan keyakinan yang kompleks yang tercermin dalam sikap dan pelaksanaan ritual keagamaan dan bertujuan untuk menyatakan hubungan manusia dan Tuhan. Religiusitas diekspresikan dalam berbagai bentuk dan aspek, seperti: 1. Seseorang menganut agama dengan menerima ajarannya tanpa merasa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi penganut agama, 2. Agama yang dianut seseorang secara objektif, baik berupa mengikuti ajarannya maupun bergabung dalam suatu kelompok agama semata-mata karena kegunaan atau kemanfaatan hakiki dari agama.
Wacana religisiutas dalam TMCSH termasuk dalam kedua aspek di atas. Penulis menerima ajaran agama dan mengambil kebermanfaatan dari ajaran agama. Hal itu terlihat dari puisi-puisi yang religious yang berjudul “Munajat Cinta Seorang Hamba”, “La-Ilaha”, “Islamku”, “Atas Nama Tuhan”, “Awal Mula Jalan”, “Maha Ada”, “Masjidil Haram”, “Shalawat di Puncak Menara”, “Hanya Nama-Mu”, serta “Karma dan Samsara”. Wacana religiusitas yang berkaitan dengan proses penciptaan manusia disampaikan dengan jalinan diksi yang apik dan puitik dalam balutan nilai-nilai spiritualitas. Salah satunya terlihat dalam puisi “Awal Mula Jalan” yang menggunakan referensi Surat At Thoriq, Ad Najm, Al Furqan, Al Imam, Al Alaq, Al Mu’minun, Al Hajj, Al Hijr, dan Surat As Sajadah seperti kutipan berikut.
Setelah nutfah ayah tertumpah
dari sulbi tertanam ia keluarnya
dan taraib tulang bengkok, tulang dada, dan tulang punggung ibunda,
bercampur cairan suci menjadi segumpal ‘alaqah’
yang melekat menggantung pada dinding kokoh rahim ibunda, lalu
menjadi segumpal mudqah
yang menjadi lahmah daging berbongkah,
membungkus tulang perkembangan kejadiannya,
tumbuh dalam iradah yang Maha Kuasa
Kembanglah ia dalam Qudrah-nya
(Hardi Abu Rafa)
Puisi di atas dihadirkan dengan cara yang berbeda dalam menceritakan asal mula penciptaan manusia. Diksi-diksi seperti nutfah (embrio), sulbi (tulang bagian bawah tulang belakang), taraib (tempat anting-anting dada), alaqah (segumpal darah), mudqah (segumpal daging), lahmah (daging), iradah (kehendak), dan Qudrah (berkuasa untuk Tuhan) yang digunakan dalam puisi bukanlah diksi biasa yang digunakan dalam bahasa sehari-hari ataupun dalam puisi-puisi Indonesia pada umumnya. Diksi-diksi tersebut hanya dapat diperoleh dari pembacaan yang luas terhadap referensi ilmu pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai keagamaan. Pembaca diberi alternatif lain tentang sudut pandang (point of view) dalam memahami proses penciptaan manusia melalui karya puisi yang indah selain yang seperti disampaikan oleh para ustad, buya, kyai melalui ceramah-ceramah ataupun seperti yang disampaikan oleh dosen atau guru di bangku perkuliahan dan di sekolah-sekolah.
Wacana religiusitas bukan hal baru dalam perkembangan wacana di Indonesia. Beberapa penyair Indonesia sudah pernah mengeksplorasi wacana religisiusitas dalam puisi-puisinya, seperti Buya Hamka, Taufik Islmail, Romo Mangun atau YB Mangunwijaya, Acep Zam-Zam Noor, Helvi Tiana Rosa, dan lain-lain. Selain unsur religiusitas, puisi-puisi dalam TMCSH juga berisi kritik sosial, seperti puisi “Infatil Primitif”, “Menggigit Anjing Menggonggong”, “Nasib Seperti Kerbau Pedati”, dan “Manusia Gorden-Manusia Gorden”, seperti salah satu contoh kutipan berikut.
Dia tampil indah memukau hati
Tampil cantik ingin selalu berbangga diri
di pajang di depan sebagai penghias seremoni
di bagian terdepan bak gorden tergantung tali
Seolah dialah yang menentukan ruangan menjadi ‘vi ai pi’
Heh gorden perlu sadar diri
Bahwa dia tak berdaya dan tak befungsi
Yang tak penting dalam jamuan yang terjadi
Para tamu tak mengingatnya sebagai substansi
Kehadirannya juga tak perlu dimakna
(Hardi Abu Rafa)
Manusia Gorden representasi dari perilaku manusia yang suka tampil indah dalam pandangan orang banyak seperti halnya gorden tanpa mau bersusah payah dalam bekerja keras. Ia hanya dinilai sebagai pajangan/hiasan tanpa diperhitungkan secara substansi. Dalam kehidupan sekarang, banyak manusia yang berperilaku seperti gorden. Demikian Hardi Abu Rafa menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya. Sikap kritik tersebut mencerminkan identitas sosial dirinya sebagai anggota masyarakat yang memiliki kegelisahan, tanggung jawab, massa (Wellek dan Warren, 1995), pengikut, dan pengaruh dalam masyarakat. Identitas sosial terlihat dari pilihan kode-kode linguistik (diksi) yang digunakan dalam puisi sebagai refleksi dari pemikiran subjektifnya.
Thomas & Wareing (2021) berpendapat bahwa posisi penulis sebagai anggota masyarakat terlihat dari penggunaan sinyal-sinyal atau kode linguistik yang merepresentasikan hubungan penulis dan kelompok sosial serta posisinya dalam kelompok tersebut. Kode-kode linguistik berhasil dimaksimalkan penulis sebagai medium utama karya sastra. Sebagai anggota kelompok masyarakat yang terikat dengan berbagai persoalan sosial, Hardi Abu Rafa memiliki kesadaran (awareness) terhadap segala bentuk diskriminasi, hegemoni, kesenjangan, dan ketidakadilan yang selalu menjadi sorotan dalam analisis wacana kritis. Itulah yang disebut dengan tanggung jawab moral seorang penulis. Demikian ulasan sederhana tentang buku TMCSH sebagai sebuah karya sastra yang mengandung unsur dulce (menyenangkan) dan utile (bermanfaat).
Buku ini lebih daripada layak untuk dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan untuk penelitian skripsi, artikel jurnal, artikel koran, dan karya ilmiah dalam bidang sastra, bahasa, dan budaya. Puisi-puisi dalam buku ini mengandung nilai-nilai pengetahuan, keagamaan, dan masalah social lain yang memenuhi syarat sebagai objek penelitian ilmiah.
Buku ini juga direkomendasikan sebagai bacaan ringan memperkaya wawasan, budi pekerti, dan kebijaksanaan diri serta teman minum teh sore hari sembari menunggu matahari terbenam di ufuk senja. (*)