Untuk komoditas rempah, Sumbar mencatatkan produksi yang konsisten. Cengkeh dengan luas lahan 7.521 hektare menghasilkan 3.470 ton. Sedangkan pala seluas 4.991 hektare dengan produksi 4.155 ton serta lada, meski dengan areal relatif kecil (1.965 hektare) tetap berkontribusi 2.246 ton.
Sementara itu, pinang mencatat produksi 11.779 ton dari areal 8.788 hektare. Rempah-rempah ini berpotensi memperkuat kembali posisi Sumbar dalam rantai ekspor global, seiring meningkatnya permintaan komoditas organik dan herbal.
Komoditas lain yang turut menopang sektor perkebunan antara lain, kemiri dengan 5.131 hektare (produksi 4.999 ton), tebu 2.204 hektare (produksi 2.821 ton), vanili 1.487 hektare (produksi 666 ton), serta jarak pagar, tembakau, dan kelapa hibrida yang walau berproduksi kecil, tetap memberi variasi pada portofolio komoditas Sumbar.
Menurut Agustian , potensi ekonomi perkebunan Sumbar tidak hanya terletak pada volume produksi, melainkan juga nilai tambah dan daya saing ekspor.
“Gambir, kopi Arabika, pala, dan cengkeh adalah komoditas khas yang bisa menembus pasar ekspor dengan harga jauh lebih tinggi bila diolah menjadi produk turunan. Pemerintah daerah (pemda) mendorong agar petani tidak hanya menjual bahan mentah, melainkan masuk ke rantai hilirisasi,” ujarnya.
Ia meyakini, tantangan sektor perkebunan Sumbar ke depannya terletak pada aspek peningkatan produktivitas lahan, peremajaan tanaman tua, serta penguatan akses pasar. “Jika strategi hilirisasi dan peremajaan bisa berjalan seiring, Sumbar berpeluang meningkatkan nilai ekspor perkebunan hingga dua kali lipat dalam lima tahun ke depan,” katanya.