PADANG, HARIANHALUAN.ID — Hidup Salmon Saroni Sarumaha (38) mendadak berubah drastis sejak peristiwa nahas yang dialaminya dua bulan lalu.
Pekerja harian lepas PT Sumber Utama Mandiri (SUMA) itu harus merasakan remuknya kedua kaki akibat kecelakaan kerja, sementara hak-hak perlindungan ketenagakerjaannya justru diabaikan oleh perusahaan.
Kecelakaan itu terjadi pada 8 Juli 2025, di sebuah gudang yang berlokasi di By Pass Kilometer 4 Kota Padang. Saat tengah melakukan aktivitas bongkar muat.
Tubuh Roni, sapaan akrab Salmon tertimpa musibah. Kaki kanannya hancur total, dari tumit hingga pergelangan, sementara kaki kirinya juga retak parah dengan tumit dan engsel pecah.
“Sejak hari itu hidup saya tidak lagi sama. Untuk berdiri saja tidak bisa, apalagi bekerja,” ungkap Roni dengan suara tertahan ditemui Haluan di rumah sederhananya di Perumahan Cinta Kasih, Lubuk Buaya, Kota Padang, Sabtu (23/8).
Klaim BPJS Tertolak
Usai kecelakaan, PT SUMA hanya menanggung biaya operasi pertama sebesar Rp19 juta. Namun ketika hendak dilakukan operasi kedua, Roni terkejut mendapati klaim BPJS Ketenagakerjaannya ditolak.
Pihak BPJS menyebut, kepesertaan Roni baru didaftarkan perusahaan pada hari yang sama ketika kecelakaan terjadi. Artinya, selama 1,5 tahun ia bekerja sebagai sopir kontainer, ditambah 4 bulan setelah kembali bekerja perusahaan ternyata tak pernah mengurus administrasi perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk dirinya.
Akibat kelalaian itu, ia tidak bisa mengklaim santunan. Kini, ia masih memiliki tunggakan sebesar Rp15 juta di RST Ganting, yang harus ditutup dengan surat perjanjian utang.
Hidup di Kursi Roda, Nafkah Terhenti
Sejak musibah ini terjadi, Roni tak lagi mampu bekerja. Aktivitas sehari-hari pun kini hanya bisa dilakukan dengan kursi roda. Ironisnya, ia adalah tulang punggung keluarga: seorang istri, dua anak yang masih balita berusia tiga dan dua tahun, serta dua orang tua yang telah lanjut usia.
Untuk ongkos pulang-pergi ke rumah sakit, ia bahkan harus dibantu secara kolektif oleh kawan-kawan sesama pengemudi Maxim. Sementara biaya hidup sehari-hari ditopang oleh pinjaman dari kerabat dan tetangga.
“Tidak ada pemasukan sama sekali. Untuk makan, minum, sampai beli obat, semua dari utang. Saya benar-benar bingung bagaimana membiayai operasi selanjutnya untuk membuka pen di kaki saya,” ucapnya.
Rekomendasi Disnaker Diabaikan, Korban Malah Diusir
Pasca kecelakaan, Roni telah melapor ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Padang. Lembaga itu sudah mengeluarkan rekomendasi agar PT SUMA bertanggung jawab. Namun hingga kini, perusahaan tetap enggan mematuhi rekomendasi tersebut.
Alih-alih menunjukkan itikad baik, pihak perusahaan justru bersikap arogan. Roni mengaku sempat diusir oleh Legal perusahaan bernama Johan saat dirinya mendatangi kantor PT SUMA untuk meminta kejelasan.
“Waktu saya datang ke kantor, saya malah diusir. Johan, legal perusahaan bilang, lebih baik saya cabut laporan. Bahkan dia menantang saya, silakan saja mau mengadu kemana pun,” ungkap Roni.
Menunggu Kepedulian Negara
Dua bulan berlalu sejak kecelakaan, derita Roni kian panjang. Ia masih harus menjalani perawatan medis, melunasi utang rumah sakit, sekaligus memikirkan biaya hidup keluarganya. Sementara, pihak perusahaan yang seharusnya melindungi pekerja justru lepas tangan.
Kisah Roni mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan tenaga kerja, terutama bagi pekerja lepas di sektor informal. Ketika musibah datang, mereka sering kali menjadi korban ganda—menderita secara fisik sekaligus terhimpit secara ekonomi.
Kini, publik menanti keberpihakan pemerintah dalam memastikan perusahaan bertanggung jawab, serta jaminan sosial ketenagakerjaan benar-benar hadir bagi pekerja, bukan sekadar formalitas administrasi. (*)