Didominasi Dokter Spesialis, 65 Formasi CPNS Pemprov Sumbar Tak Terisi

DOKTER SPESIALIS—Suasana ruangan instalasi gawat darurat (IGD) di RSUP M. Djamil Padang, Rabu (5/1). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sumbar, distribusi dokter spesialis di Sumbar hingga kini masih belum merata, dan masih bertumpuk di kota-kota besar. FAJAR

PADANG, HALUAN — Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sumatra Barat mencatat, dari total 1.176 formasi yang dibuka pada Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021, sebanyak 65 formasi di antaranya urung terisi. Formasi tersebut tersebut didominasi oleh dokter spesialis.

Kepala BKD Sumbar, Ahmad Zakri mengatakan, pada Seleksi CPNS dan PPPK 2021 di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar), sebanyak 1.111 peserta telah dinyatakan lulus, dengan rincian, 403 formasi CPNS, 704 formasi PPPK Guru, dan 4 formasi PPPK Nonguru.

“Untuk kekosongan sendiri ada sebanyak 22 dari formasi CPNS, 39 PPPK, dan 4 PPPK Nonguru. Sehingga total ada 65 formasi yang masih kosong,” katanya saat dihubungi Haluan, Rabu (5/1).

Ia menjelaskan, untuk CPNS, formasi yang kosong didominasi oleh formasi dokter spesialis. Beberapa formasi yang urung terisi antara lain, spesialis jantung, jiwa, mata, radiologi, rehab medis, urologi, dan seterusnya. Di samping itu, juga ada pengasuh olahraga, pengolahan data survei, dan petugas pengukuran di Dinas Kehutanan (Dishut).

Ia mengatakan, formasi dokter spesialis sendiri memang sejak awal sudah sepi peminat. Bahkan, pihaknya juga telah melakukan optimalisasi, sehingga kekosongan yang semula berjumlah 50 formasi, berkurang menjadi 18 formasi.

Menurut pria yang sebelumnya menjabat Kepala Biro Organisasi Setdaprov Sumbar itu, formasi dokter spesialis memang selalu sepi peminat. Setiap kali pemeintah membuka Seleksi CPNS, dokter spesialis selalu menjadi formasi yang kurang peminat.

“Karena kan, sebagian besar dokter yang menjadi spesialis itu, saat masih menjadi dokter umum, sudah berstatus ASN. Kalau yang mandiri langsung ke jabatan spesialis memang kurang. Tetapi, lantaran kami masih kekurangan dokter spesialis, makanya dibuka formasi untuk dokter spesialis,” ujarnnya.

Kekurangan Dokter Spesialis

Minimnya peminat dokter spesialis pada Seleksi CPNS 2020 dilihat Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sumbar, dr. Pom Harry Satria sebagai sesuatu yang kontradiktif. Pasalnya, dalam hal ketersedian SDM dokter spesialis, Sumbar masih jauh tertinggal dari provinsi-provinsi lain. Hal ini berbanding terbalik dengan dengan posisi Sumbar sebagai salah satu produsen dokter spesialis terbesar di Indonesia.

Menurut dr. Pom, banyaknya dari lulusan kedokteran di Sumbar yang enggan mengabdi di kampung halaman, dan memilih untuk bekerja di provinsi lain, menjadi salah satu akar utama persoalan ini.

“Hal inilah yang menjadi problem yang mendasar di Sumbar. Bisa kita lihat di beberapa daerah, seperti Mentawai, dokter spesialis masih sangat kurang. Padahal Sumbar memiliki salah satu produsen dokter terbaik, yakni Universitas Andalas (Unand). Lalu, kenapa kita sebagai penghasil produk pendidikan malah kekurangan tenaga spesialis,” katanya.

Menurutnya, persoalan perlu disikapi bersama melalui kebijakan pemerintah daerah (pemda). Ia mengakui, salah satu pokok kebutuhan, seperti dukungan dan fasilitas bagi dokter spesialis di Sumbar masih lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain.

“Sehingga kita berada pada posisi kekurangan tenaga terus. Setelah selesai pendidikan, mereka pergi dan tidak mau mengabdi di kampung halaman. Apalagi yang biaya mandiri, tidak bisa juga dipaksakan harus di Sumbar,” tuturnya.

Ia mengatakan, kalau dibandingkan dengan provinsi tetangga, seperti Riau, justru malah surplus tenaga kesehatan spesialis. Padahal, untuk produsen pendidikan spesialis, Riau baru mulai lima tahun terakhir, dan belum memiliki lulusan spesialis. Sedangkan Sumbar memiliki Unand yang telah memproduksi tenaga spesialis sejak 50 tahun terakhir.

Lebih jauh, dr. Pom menjelaskan, separuh dari tenaga spesialis yang mengikuti pendidikan telah diserap oleh status kepegawaiannya. Hal itu karena yang mengambil pendidikan spesialis biasanya karena tugas belajar.

“Nah, separuhnya lagi adalah mereka yang mengambil pendidikan mandiri. Merekalah yang memiliki kesempatan melamar pada penerimaan CPNS di kabupaten/kota di Sumbar,” ucapnya.

Problem berikutnya adalah hal yang berkaitan dengan dukungan dari rumah sakit (RS). Dalam hal ini terkait fasilitas untuk tenaga spesialis yang berkaitan dengan kesejahteraan maupun fasilitas yang diberikan.

“Kalau dibandingkan dengan provinsi lain, posisi kita lebih rendah. Ini menjadi tantangan tersendiri, terutama untuk menarik minat tenaga spesialis agar mau mengabdi di Sumbar,” ucapnya.

Ke depannya, menurutnya, perlu dilakukan perluasan kesempatan pendidikan bagi dokter yang ada di daerah, baik di RS milik provinsi maupun kabupaten/kota. Meskipun butuh persiapan empat sampai lima tahun hingga tenaga kesehatan yang melaksanakan pendidikan ini bisa kembali ke tempat asal, hal ini tetap perlu dilakukan oleh pemerintah daerah.

“Nah, persoalannya terkadang, dokter yang tidak terikat status kepegawaian biasanya sudah dipinang oleh RS swasta atau kabupaten/kota tertentu dengan berbagai komitmen dan dukungan-dukungan fasilitas yang menarik,” ucapnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, menjelang menjadi spesialis, seorang dokter harus menghabiskan waktu yang sangat panjang dan biaya yang sangat besar. Sehingga, saat dokter menyelesaikan pendidikan spesialis dan ditawarkan mengikuti CASN, akan banyak pertimbangannya.

“Pendidikan dokter itu tujuh tahun lamanya. Ada magang, lalu internship selama empat sampai lima tahun dengan biaya mandiri yang tentu tidak kecil. Belum lagi proses seleksi yang ketat. Per waktu penerimaan, kuotanya hanya 10 orang. Sedangkan jumlah peminatnya bisa mencapai 600 orang. Sehingga sebagian besar yang menyelesaikan pendidikan dengan biaya mandiri belum mempertimbangkan menjadi ASN,” tuturnya.

Kondisi ini, juga dialami oleh profesi lain di bidang kesehatan seperti psikolog dan tenaga perawat spesialis. Ia menyebutkan, banyak alumni kedokteran di Sumbar yang memilih bekerja di provinsi lain dengan iming-iming fasilitas dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik.

Permasalahannya, menurut dr. Pom, bukan lantaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumbar yang rendah, sehingga tidak mampu menyediakan fasilitas yang lebih memadai. Pasalnya, banyak provinsi lain yang PAD-nya lebih rendah dari Sumbar, namun mampu memberikan fasilitas yang lebih baik.

“Jika dihitung-hitung anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk fasilitas dokter spesialis masih jauh lebih rendah dibangding biaya rujukan pasien dari daerah yang kekurangan dokter spesialis. Karena untuk rujukan itu anggarannya juga besar. Kongkretnya, butuh satu kebijakan khusus untuk tenaga profesional spesialis, psikolog, dan tenaga keperawatan spesialis. Butuh layanan khusus, di mana perlakuannya tidak bisa disamakan. Kita akan selalu kehilangan tenaga spesialis, psikolog, dan tenaga ahli lainnya jika perlakuannya sama,” ucap dr. Pom.

Terpisah, Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar, drg. Busril menyebut, permasalahan dokter spesialis saat ini disebabkan oleh distribusi yang tidak merata. Banyak dokter spesialis yang memilih bekerja di daerah yang menawarkan fasilitas dan insentif yang lebih baik.

Kondisi ini membuat masih banyak daerah di Sumbar kekurangan tenaga dokter spesialis. Dinkes Sumbar mencatat, saat ini dokter spesialis di Sumbar berjumlah sebanyak 1.148 orang. Jumlah tersebut masih terkonsentrasi di RS-RS besar di kota besar.

RSUP M. Djamil Padang menjadi RS yang memiliki jumlah tenaga dokter spesialis terbanyak yakni 182 orang. Diikuti RS Unand sebanyak 53 orang dan RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi sebanyak 42 orang.

Sementara itu, beberapa daerah di Sumbar, seperti Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan Kabupaten Solok Selatan (Solsel) tercatat masih kekurangan dokter spesialis.

“Ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih lengkap menjadi alasan utama dokter spesialis dalam memilih RS tempatnya mengabdi. Di lain pihak, RS yang tidak memenuhi hal tersebut terpaksa harus gigit jari,” katanya. (h/dan)

Exit mobile version