Begitupun di Kabupaten Tanah Datar. Saat ini dua sertifikat HPL Tanah Ulayat untuk Nagari Sungayang, masing-masing seluas 55.941 m² dan 16.928 m². Sertifikat tersebut telah diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) setempat.
Di Kabupaten Limapuluh Kota, sertifikat untuk Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang, Kecamatan Luak, juga telah terbit dengan total luas 585.918 m², yang terbagi atas dua bidang tanah.
Pada tahun 2024, penerbitan sertifikat terus dimasifkan. Hasilnya, tiga sertifikat berhasil diterbitkan, masing-masing untuk Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Tanah Datar dengan luas 822.600 m² dan 40.650 m²; serta untuk Nagari Sungai Kamuyang, Kecamatan Luak, Limapuluh Kota seluas 371.095 m².
“Proses pada tahun 2024 menunjukkan antusiasme nagari untuk mengamankan tanah ulayat semakin meningkat. Hal ini juga didorong oleh kesadaran kolektif bahwa sertifikasi HPL bisa mencegah konflik agraria yang sering muncul akibat tumpang tindih klaim kepemilikan,” kata Teddy.
Kanwil ATR/BPN Sumbar mencatat, hingga September 2025 ini, sertifikat HPL tanah ulayat juga telah berhasil diterbitkan di Desa Pauh Barat, Kota Pariaman dengan luas 21.933 m². Hak pengelolaannya diberikan kepada Kerapatan Adat Nagari VI Koto Air Pampan. Dengan ini, total sertifikat HPL Tanah Ulayat yang sudah terbit di seluruh Ranah Minang kini telah mencapai sepuluh bidang tanah.
Teddy menegaskan bahwa program sertifikat tanah ulayat semata-mata bertujuan untuk melindungi eksistensi tanah ulayat milik MHA Minangkabau. Bahkan program pencatatan tanah ulayat di buku administrasi pertanahan negara ini adalah bentuk pengakuan dan perlindungan negara terhadap hak masyarakat adat di Sumbar.
“Dengan adanya sertifikat, maka tanah ulayat tidak bisa lagi dialihkan atau dimanfaatkan tanpa sepengetahuan pemegang hak, yaitu kerapatan adat. Ini menjadi tameng agar aset nagari tetap utuh, sekaligus bisa dijadikan landasan untuk pengembangan ekonomi berbasis kearifan lokal,” katanya.