Tingginya curah hujan saat itu, menurut Prof. Isril, tidak mampu ditampung oleh DAS Anai yang telah mengalami pendangkalan. Berdasarkan kajian ilmiah, DAS Anai hanya mampu menampung sekitar 110 meter kubik lebih per detik.
“Artinya, ada kelebihan sekitar 290 meter kubik lebih per detik yang menjadi energi dahsyat dari aliran air. Ini yang kemudian menghantam restoran, pemandian, hingga fasilitas wisata,” ucapnya.
Berkaca dari musibah itu, Prof. Isril mengingatkan agar langkah pemulihan DAS Anai tidak bisa dilakukan secara parsial. Semua instansi terkait harus segera mengambil langkah penyelamatan kongkret. Baik melalui program reboisasi atau penghijauan, pengerukan sungai, maupun pengendalian sedimentasi.
“Kalau ada penghijauan, jangan sekadar wacana. Misalnya, penanaman bambu di Lembah Anai harus benar-benar dijalankan. Badan sungai harus melakukan pengerukan, sementara BPDAS harus menyediakan anggaran. Begitu juga dengan binaan pertanian di Singgalang, Merapi, dan sepanjang DAS Anai. Semua pihak harus bergerak sesuai perannya,” katanya.
Lebih lanjut, ia menilai, tata ruang di kawasan DAS masih lemah, karena banyak bangunan tetap berdiri meski berada di zona rawan bencana. Bahkan ada rumah ibadah, kafe, hingga hotel yang terpapar risiko banjir bandang.
“Kalau bangunan di sempadan sungai sudah jelas berisiko, kenapa dibiarkan? Siapa yang berwenang? Pemerintah daerah (pemda) harus tegas. Jangan sampai pembiaran ini menjadi bumerang di kemudian hari,” ujarnya.