Imas menegaskan bahwa permasalahan di DAS Batang Anai tidak hanya menyangkut daya tampung sungai, tetapi juga perilaku manusia. Banyak masyarakat yang masih membangun di sempadan sungai dan membuka lahan di hulu.
“Bangunan di badan dan sempadan sungai, serta pembukaan kawasan di hulu seperti di sekitar Gunung Marapi, Singgalang, dan Tandikek akan memperparah risiko bencana. Kalau hal ini tidak dikendalikan, banjir berulang bisa kembali terjadi seperti tahun lalu,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pengelolaan DAS Batang Anai mencakup enam kabupaten/kota di Sumbar, yaitu Padang, Padang Panjang, Padang Pariaman, Tanah Datar, dan daerah lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, diperlukan kerja sama lintas sektor.
BPDAS, ujarnya, bukan satu-satunya lembaga yang bertugas. Ada BWS V, BKSDA, BPBD, BMKG, pemda, perguruan tinggi, dan unsur lainnya. Semua memiliki peran sesuai tupoksi masing-masing, namun di satu lokus yang sama. Oleh karena itu, koordinasi dan internalisasi program menjadi sangat penting.
Ia berharap forum pengelolaan DAS Anai dapat menjadi wadah untuk menyatukan program antarlembaga, sekaligus mengedukasi masyarakat. Peran media juga diharapkan mampu menyebarkan informasi agar masyarakat paham pentingnya menjaga ekosistem DAS.
“Kerugian akibat bencana 2024 sangat besar. Untuk memperbaiki jalan saja, butuh dana sekitar Rp1 triliun dalam waktu tiga bulan. Itu belum termasuk kerugian material lain dan kehilangan nyawa manusia. Jadi pengelolaan DAS bukan sekadar proyek lingkungan, tapi menyangkut keselamatan bersama,” tuturnya.