PADANG, HARIANHALUAN.ID — Hamparan kebun sawit kini menjadi pemandangan lazim dari Pasaman Barat hingga Dharmasraya. Komoditas emas hijau itu menjanjikan kesejahteraan bagi ribuan keluarga, namun di balik kilauannya, ancaman ekologis mengintai. Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Andalas, Mahdi, mengingatkan bahwa sawit bak pedang bermata dua, membawa berkah ekonomi sekaligus berpotensi menjerumuskan Sumatera Barat (Sumbar) dalam krisis lingkungan.
Dalam wawancara bersama Haluan, Rabu (10/9/2025), Mahdi menyebut ekspansi sawit di Sumbar tumbuh 5–10 persen per tahun, didorong tingginya permintaan dunia terhadap produk turunannya, mulai dari minyak goreng, margarin, kosmetik, hingga bioenergi.
“Industri sawit memang membuka lapangan kerja dan mendongkrak ekonomi. Tapi kalau tidak diawasi, dampak ekologisnya bisa fatal,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya mekanisme perizinan yang ketat, termasuk studi amdal, untuk memastikan perkebunan tidak berdiri di kawasan hutan, sempadan sungai, atau tanpa kajian lingkungan. Menurutnya, masih banyak kebun di Sumbar yang beroperasi ilegal di kawasan lindung, bahkan ada yang disegel Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Selain itu, Mahdi menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pabrik pengolahan sawit. Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) wajib tersedia, namun kasus kebocoran kolam limbah dan pembuangan langsung ke sungai masih terjadi. “Kalau limbah cair dibuang tanpa pengolahan, itu pelanggaran serius,” ucapnya.
Tantangan serupa juga datang dari sawit rakyat. Banyak kebun tumbuh di sempadan sungai, padahal aturan jelas melarang penanaman dalam radius 100 meter dari aliran sungai besar. “Praktik ini memperparah banjir dan merusak fungsi hidrologis,” katanya.
Namun Mahdi mengakui, sawit juga memberi manfaat signifikan bagi masyarakat. Ribuan lapangan kerja tercipta, pendapatan petani meningkat, dan ekonomi daerah bergerak. Karena itu, menurutnya, yang dibutuhkan adalah keseimbangan.