Penulis : Yesi Deswita, Ghina Wadhia, Muliani Fauziah, Mutia
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup terlepas dari kelompok. Dalam kehidupan sehari-hari, individu tidak hanya dikenal melalui identitas pribadinya, tetapi juga melalui kelompok sosial tempat ia menjadi anggota, seperti keluarga, etnis, agama, organisasi, maupun profesi.
Keanggotaan dalam kelompok ini memberikan rasa memiliki, kebanggaan, serta memengaruhi cara individu memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Teori Identitas Sosial
Fenomena ini dijelaskan dalam Teori Identitas Sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan John Turner pada tahun 1970-an. Teori ini berangkat dari temuan bahwa individu cenderung memperlakukan kelompoknya sendiri (ingroup) lebih baik dibandingkan kelompok lain (outgroup), bahkan ketika pembagian kelompok dilakukan secara acak. Hal ini menunjukkan bahwa identitas kelompok memiliki peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku sosial.
Identitas sosial terbentuk melalui tiga proses utama, yaitu kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan perbandingan sosial. Melalui proses ini, seseorang tidak hanya memahami siapa dirinya, tetapi juga menempatkan dirinya dalam struktur sosial yang lebih luas. Identitas sosial dapat memberikan dampak positif, seperti memperkuat solidaritas dan kerjasama, namun juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa stereotip, prasangka, diskriminasi, hingga konflik antar kelompok.
Dalam konteks masyarakat modern, termasuk di Indonesia yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya, pemahaman mengenai teori identitas sosial menjadi sangat penting. Teori ini dapat membantu menjelaskan dinamika hubungan antar kelompok, baik dalam bentuk kerjasama maupun konflik, serta memberikan wawasan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.
Identitas sosial merupakan sebuah konsep dalam psikologi yang menjelaskan bagaimana individu dalam memberntuk dan mempertahankan rasa identitas mereka melalui keanggotaan mereka dalam berbagai kelompok sosial.
Teori identitas sosial pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial asal Inggris Henri Tajfel di tahun 1970-an dalam upaya memahami dasar psikologis antar kelompok. Teori klasik ini mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana individu dapat mengadopsi dan berperilaku berdasarkan identitas sosialnya, serta mengkaji bagaimana hal ini berdampak ada hubungan sosial antara individu dan kelompok.
3 isu utama yang dibahas dalam Social Identity Theory. Pertama, Proses Psikologis (Psychological Process) atau proses yang menjelaskan bagaimana identitas sosial seseorang berbeda dengan identitas pribadi mereka.
Kedua, Strategi Manajemen Identitas (Identity Management Stategies. Hal atau strategi yang digunakan individu agar memperoleh identitas soal yang positif.
Ketiga, Karakteristik Sosio-Struktural (Socio-structural Characteristics). Dimana karakter utama dari struktur sosial yang menentukan strategi mana yang paling mungkin digunakan dalam situasi tertentu.
Singkatnya kategorisasi sosial yang membuat kita mengelompokan orang, perbandingan sosial yang membuat kita menilai suatu kelompok, dan identifikasi sosial yang membuat kita menjadi bangga, emosi dan perilaku yang menyertainya dalam kelompok tersebut.
Teori Prasangka
Istilah prasangka dalam bahasa Inggris disebut prejudice, yang berasal dari bahasa Latin praejudicium. Kata ini memiliki beberapa arti yang mengalami perubahan makna seiring waktu. Menurut Allport (1954), terdapat tiga tahapan perkembangan makna dari istilah prejudice:
a. Pada awalnya, praejudicium berarti sebuah preseden atau keputusan yang didasarkan pada pengalaman dan keputusan sebelumnya.
b. Kemudian, dalam bahasa Inggris, maknanya berkembang menjadi penilaian yang terbentuk terlalu cepat, yaitu keputusan yang dibuat tanpa pertimbangan atau penelitian yang matang terhadap fakta.
c. Akhirnya, prasangka diartikan sebagai kondisi emosional, yaitu perasaan suka atau tidak suka terhadap seseorang atau kelompok, yang menyebabkan seseorang membuat penilaian tidak objektif dan tidak adil.
Jadi, secara sederhana, prasangka sosial dapat dipahami sebagai sikap atau penilaian negatif yang muncul sebelum seseorang benar-benar mengenal atau memahami pihak lain, dan sering kali didasarkan pada perasaan atau stereotip, bukan fakta yang sebenarnya.
Prasangka terdiri dari tiga unsur utama, yaitu:
a. Keyakinan (beliefs) – yang dalam konteks ini disebut stereotip, yaitu pandangan atau anggapan tertentu terhadap suatu kelompok.
b. Emosi (emotions) – seperti perasaan tidak suka, permusuhan, atau ketakutan terhadap kelompok tertentu.
c. Kecenderungan untuk bertindak (predispositions to action) – yang dapat muncul dalam bentuk diskriminasi, yaitu perlakuan tidak adil terhadap anggota kelompok tersebut.