Menurut Ahmadi (1991), prasangka terdiri dari tiga aspek, yaitu:
a. Aspek kognitif Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek terentu.
b. Aspek Afektif Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipasti, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek tertentu.
c. Aspek Konatif Prasangka merupakan suatu tendensi / kecendrungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan member pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya.
Prasangka sosial merupakan salah satu hambatan dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai usaha untuk mencegah maupun mengatasi munculnya prasangka di tengah masyarakat. Secara umum, usaha mengurangi prasangka dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu usaha preventif dan usaha kuratif.
KRITIK TERHADAP FENOMENA PRASANGKA
Fenomena prasangka sosial (social prejudice) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari proses pembentukan identitas sosial. Menurut Tajfel dan Turner (1986), prasangka muncul ketika individu atau kelompok terlalu menonjolkan perbedaan antara “kelompok kita” (ingroup) dan “kelompok mereka” (outgroup). Dalam upaya mempertahankan harga diri sosial, seseorang cenderung menilai kelompoknya lebih unggul dan memandang kelompok lain secara negatif.
Dalam jurnal Social Identity Construction in Digital Communities: A Case Study on Social Media Users in Indonesia menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam memfasilitasi pembentukan identitas sosial melalui proses kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan perbandingan sosial. Media sosial menyediakan ruang dinamis bagi individu untuk menemukan kelompok dengan minat serupa, menginternalisasi norma komunitas, dan memperkuat solidaritas melalui simbol dan kegiatan kolektif.
Kemudian, budaya kolektivis di Indonesia memengaruhi pembentukan identitas sosial, tercermin dalam integrasi nilai-nilai lokal seperti penggunaan bahasa daerah dan simbol budaya dalam interaksi daring. Namun, tantangan seperti polarisasi, perundungan siber, dan tekanan sosial juga muncul, menghambat dinamika komunitas digital.
Temuan ini menegaskan bahwa media sosial bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga ruang kompleks yang memfasilitasi pembentukan identitas sosial dengan peluang dan risiko yang saling terkait. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi secara teoritis pada literatur psikologi sosial dan budaya digital serta memberikan wawasan praktis untuk mengelola komunitas digital yang inklusif dan harmonis.
Pada jurnal kedua tentang Perceived discrimination as a mediator between cultural identity and mental health symptoms among racial/ethnic minority adults in the United States: insights from the Health Information National Trends Survey 6. Penelitian ini menemukan adanya hubungan signifikan antara faktor demografi dan gaya hidup dengan gejala kesehatan mental. Orang kulit hitam non-Hispanik atau Afrika Amerika dan Hispanik memiliki kemungkinan lebih rendah dibandingkan orang kulit putih non-Hispanik untuk mengalami gejala kesehatan mental.
Individu berusia antara 35 hingga 49 tahun, 50 hingga 64 tahun, 65 hingga 74 tahun, dan 75 tahun ke atas memiliki peluang lebih rendah mengalami gejala kesehatan mental. Perbedaan gender menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko masalah kesehatan mental lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Faktor sosial ekonomi, seperti pendapatan rumah tangga dan status pekerjaan, memainkan peran signifikan, dengan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dan status pekerjaan terkait dengan berkurangnya kemungkinan gejala kesehatan mental.
Penelitian ini menekankan peran diskriminasi yang dirasakan sebagai mediator, yang menunjukkan bahwa hal tersebut sepenuhnya memediasi hubungan antara identitas budaya dan gejala kesehatan mental. Temuan ini menyoroti pentingnya menangani pengalaman diskriminasi dalam mendukung kesehatan mental orang dewasa dari berbagai latar belakang.
(*)