Menurutnya, pernyataan itu mesti diperjelas atau bahkan dikritisi, karena tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi keuangan daerah di seluruh Indonesia. “Saya kira ini perlu dikritisi. Tidak semua benar yang dikatakan Menteri Keuangan itu,” tutur Mahyeldi.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya mengungkapkan bahwa total uang milik pemda yang “menganggur” di bank mencapai angka Rp234 triliun. Menurutnya, hal ini menandakan pemda tidak cakap dalam menyerap anggaran.
“Serapan rendah mengakibatkan menambah simpanan uang pemda yang nganggur di bank sampai Rp234 triliun. Jadi jelas, ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” kata Purbaya.
Purbaya lantas membeberkan serapan anggaran APBD seluruh provinsi di Indonesia hingga September 2025 baru 51,3 persen atau setara dengan Rp712,8 triliun. Padahal, total pagu yang ada mencapai Rp1.389 triliun. Serapan anggaran ini lebih rendah 13,1 persen dibanding di bulan yang sama tahun lalu.
Purbaya menyoroti belanja modal yang mengalami penurunan. Padahal, model penyerapan anggaran tersebut bisa berdampak langsung kepada ekonomi masyarakat, seperti pembangunan dan terbukanya lapangan kerja.
“Artinya perputaran ekonomi daerah berjalan lebih lambat. Yang perlu perhatian serius adalah belanja modal hanya Rp58,2 triliun atau turun lebih dari 31 persen. Padahal ini belanja yang langsung berdampak ke pembangunan dan lapangan kerja,” ujarnya.
Tak hanya itu, Purbaya turut mengkritik serapan anggaran di sektor lain yang turut anjlok seperti belanja barang dan jasa dan belanja lainnya. Ia pun mendesak agar pemda segera memaksimalkan serapan anggaran hingga akhir tahun 2025. Ia tidak ingin ada lagi ada dana yang hanya menganggur dalam bentuk kas dan deposito di bank.