PADANG, HALUAN—Sepanjang 2021, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menemukan sebanyak 600 akun media sosial (medsos) yang berpotensi menyebarkan paham radikalisme. Temuan ini semakin mempertegas urgensi penguatan literasi digital, khususnya bagi generasi muda, yang dinilai sebagai kelompok paling rentan terpapar paham radikalisme.
Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumatra Barat, Zaim Rais mengatakan, pihaknya juga menemukan banyak konten berbau radikalisme yang menyebar di tenngah masyarakat Sumbar. Temuan tersebut, menurutnya, mesti disikapi dengan serius. Terlebih, target utama dari konten di medsos merupakan generasi muda yang cenderung labil dan mudah terpengaruh.
“Generasi muda harus memahami bahwa perbedaan merupakan sunnatullah. Perbedaan itu diciptakan bukan untuk disikapi sebagai sebuah permusuhan. Mayoritas konten-konten paham radikalisme itu adalah informasi yang mengajarkan kebencian pada setiap perbedaan,” katanya kepada Haluan, Rabu (26/1).
Ia mengatakan, kontranarasi dan literasi digital kepada generasi muda menjadi program utama FKPT Sumbar dalam upaya membentengi generasi muda dari paham-paham radikalisme yang disebarluaskan melalui dunia maya. Program tersebut telah dilakukan FKPT sejak 2015 dan sudah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat di Sumbar.
“BNPT dan FKPT Sumbar juga memiliki Duta Damai yang dikomandoi oleh Pusat Media Damai (PMD) BNPT yang fokus memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat luas. Media damai ini bertujuan agar masyarakat, terutama generasi muda bisa cerdas dalam menyaring dan menyerap berbagai informasi yang tersebar,” ujarnya.
Pihaknya menyadari jika konten yang berisi paham radikal jika dibiarkan tanpa ada konten atau infrormasi pembanding (kontranarasi) akan membawa dampak buruk dan berujung pada terjerumusnya masyarakat, terutama generasi muda, ke dalam paham radikalisme. Setelah itu berlanjut kepada tindakan yang mengarah pada terorisme.
Ia menuturkan, ini merupakan salah satu upaya untuk meminimalisasi menyebarnya paham radikalisme di dunia maya. Sebab, paham ini tidak secara terang benderang membagikan informasi berkaitan dengan paham radikalisme. Sebaliknya, mereka membungkus informasi itu secara perlahan atau sifatnya menyusup. Maka, dengan penguatan literasi digital, diharapkan generasi muda memiliki pondasi yang kuat, sehingga tidak mudah termakan dengan konten-konten yang memecah persatuan.
“Dari pertemuan terakhir saya dengan Densus 88, diketahui bahwa Sumbar merupakan daerah yang mesti waspada. Sebab, ditemukan kelompok-kelompok yang menaruh kebencian kepada setiap orang yang berbeda atau pihak yang berada di luar kelompoknya. Selain itu, juga ditemukan beberapa kelompok yang bersifat eksklusif atau tidak mau berbaur dengan orang di luar kelompoknya. Mereka menutup diri,” katanya.
Kelompok-kelompok seperti itu mesti diwaspadai. Sebab, kelompok tersebut cenderung taklid atau tidak menerima kebenaran dari luar kelompoknya. “Maka kami juga melakukan pendekatan kepada kelompok ini untuk bisa berbaur dan bersosialisasi dengan orang di luar kelompoknya. Ini salah satu jalan keluar untuk mencegah mereka terbawa arus paham radikalisme,” katanya.
Zaim Rais juga berpesan bahwa lembaga pendidikan pertama anak-anak merupakan keluarga. Oleh karena itu, orang tua mesti memberikan pemahaman kepada anak bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan.
“Saat anak belajar agama, maka berikan mereka informasi dari berbagai sumber, karena taklid dan fanatik akan menjerumuskan anak-anak pada paham radikal. Jika anak belajar dari berbagai sumber dan memiliki banyak referensi, anak akan mampu menimbang dan menyaring informasi, sehingga sulit terpengaruh dengan konten yang berisi ajakan kebencian dan permusuhan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala BNPT, Boy Rafli Amar mengaku terus melakukan monitoring situs dan akun di medsos yang berpotensi radikal. Monitoring tersebut dilakukan bersama dengan melibatkan Polri, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Nasional (BIN), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Dalam bidang pencegahan, BNPT telah melakukan monitoring terhadap situs dan akun medsos di dunia maya yang berpotensi mengandung paham radikal,” katanya.
Dari hasil monitoring tersebut, BNPT hingga saat ini berhasil mencatat adanya 600 akun berpotensi radikal, yang terdiri dari konten propaganda sebanyak 650. Di mana 409 di antaranya adalah konten bersifat umum dan merupakan konten informasi serangan.
Selanjutnya ada 147 konten anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 85 konten anti Pancasila, tujuh konten inteloren, dan dua konten berkaitan dengan paham takfiri. Selain itu, ada konten pendanaan terorisme sebanyak 40.
“Karena pendaanan terorisme di dunia maya ini dengan menggunakan platform yang ada ini cukup dominan akhir-akhir ini dan konten berkaitan dengan pelatihannya ada 13 konten,” katanya.
Menghadapi ancaman radikalisme ini, BNPT telah mengusung konsep penanggulanagn kejahatan terorisme dengan bersifat pentahelix atau multipihak. Di konsep ini termasuk di dalamnya pemerintah, akademisi, pelaku dunia usaha, media dan komunitas.
“Ini karena yang berpotensi terpapar menjadi pelaku radikalisme adalah multipihak, semua pihak dan yang menjadi korban adalah semua pihak. Oleh karena itu, kami melalukan ini agar semua memiliki semangat bersama,” kata Boy.
Konsep pentahelix ini diyakininya dapat mengembangkan potensi nasional yang dapat menjadi kekuatan bersama dalam melawan ideologi, radikalisme, dan terorisme yang berbasis kekerasan.
“Karena kami yakin bahwa ideologi terorisme sangat jauh dari identitas jati diri bangsa kita yang telah diwariskan para leluhur setidak-tidak nya apa yang dinyatakan dalam empat pilar kebangsaan kita, yaitu UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan bentuk NKRI,” ucapnya.
Moderasi Beragama
Di sisi lain, Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin mendorong para ulama terus meningkatkan moderasi beragama sesuai prinsip Islam Wasathiyah. Wapres optimistis moderasi dalam beragama bisa menciptakan kedamaian dan kerukunan serta mencegah munculnya ekstremisme dan terorisme.
“Ini harus kita cegah bersama. Oleh karena itu, perdamaian dan kerukunan tersebut harus terus kita rawat dan lestarikan. Salah satunya, dengan terus menggemakan nilai-nilai moderasi dalam beragama sesuai dengan prinsip wasathiyah,” ujarnya pada acara Halaqah Kebangsaan I Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, melalui konferensi video di Jakarta, Rabu (26/1).
Menurutnya, umat Islam di Indonesia dapat hidup berdampingan dalam perdamaian dan kerukunan bersama pemeluk agama lain, karena Islam di Indonesia datang dan berkembang dengan cara yang damai, atau dengan prinsip jalan tengah (wasthiyah). Prinsip tersebut berhasil terwujud salah satunya berkat peran dari para ulama sebagai pewaris para nabi dan obor keteladanan bagi umat.
“Saya optimistis, jika ulama Indonesia bersatu padu dalam merawat dan meningkatkan moderasi Islam ini, maka Islam wasathiyah di Indonesia akan menjadi poros pancaran harapan bagi lahirnya dunia yang damai sebagai awal menuju dunia yang sejahtera,” kata Wapres.
Namun demikian, ia menilai, para ulama tidak dapat berjuang sendiri dalam mewujudkan perdamaian melalui Islam wasathiyah. Menurutnya, peran keluarga, guru, dan masyarakat luas sangat penting dalam upaya kolaboratif mencegah masuk dan menyebarnya paham radikal-terorisme.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
“Perpres ini menjadi acuan kita bersama untuk memperkuat kolaborasi antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, para ulama maupun ormas Islam, termasuk BPET-MUI, untuk mencegah dan menanggulangi paham radikal-terorisme,” katanya.
Selain kolaborasi sejumlah pihak, Ma’ruf Amin juga mengingatkan agar cara-cara penyiaran (dakwah) masing-masing agama, menggunakan narasi-narasi kerukunan yang sejuk dan damai. Bukan narasi konflik yang mengakibatkan terjadinya kebencian dan permusuhan antar pemeluk agama.
“Tugas kita adalah mengajak, berdakwah. Kita bukan memberi petunjuk. Tapi yang memberi petunjuk adalah Allah SWT. Oleh karena itu, kita tidak perlu berlebihan dalam menyampaikan dakwah, sebagaimana yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya,” ujarnya. (h/rga)