PADANG, HALUAN — Suara kekecewaan menggema dari para pelaku UMKM mandiri yang biasa berjualan di sepanjang Jalan Permindo hingga kawasan Air Mancur, Pasar Raya Padang.
Para pedagang kompak menyatakan Wali Kota Padang gagal membina dan menata nasib pedagang kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari aktivitas jual beli di kawasan tersebut.
Ketua UMKM Mandiri, Harianto, menuturkan bahwa sejak dipindahkan ke Pasar Raya Fase VII, pendapatan para pedagang merosot drastis. Bahkan ada yang dalam sebulan hanya 2 kali pecah telur (hanya 2 orang pembeli).
Dengan suara lirih para pedagang bahkan menggambarkan kondisi lokasi baru itu seperti “penjara ekonomi”.
“Wali Kota gagal membina kami. Setelah dipindahkan ke fase VII, tak ada lagi transaksi jual beli. Pembeli pun enggan datang, apalagi kami ditempatkan berdesakan seperti sarden. Ini membunuh ekonomi kami para pedagang,” keluh Harianto kepada awak media, Selasa (4/11/2025).
Lebih jauh, Harianto menyoroti ketiadaan regulasi jelas bagi pedagang UMKM mandiri di Kota Padang. Menurutnya, tidak ada Peraturan Wali Kota (Perwako) yang mengatur lokasi maupun waktu berjualan.
“Sampai saat ini, tidak ada Perwako yang mengatur di mana dan kapan pedagang boleh berjualan. Kami merasa tidak punya arah,” ujarnya.
Sementara itu, Bobi, salah seorang pedagang sepatu yang biasa berjualan di kawasan Air Mancur–Permindo, mengaku banyak pihak turut merasakan dampak pelarangan berjualan di jalan tersebut.
“Bukan cuma kami para PKL yang merasakan imbasnya. Toko grosir tempat kami belanja, kuli angkut, pemulung, hingga anak buah pedagang kami pun terdampak. Semua ikut susah,” jelasnya.
Bobi menambahkan, hingga kini ia belum melihat konsep nyata penataan UMKM dari Pemerintah Kota Padang.
“Janji penataan UMKM Pasar Raya tak pernah terealisasi. Walikota jelas gagal membina pedagang kecil,” tegasnya.
Pedagang lain, Darwis mengatakan pedagang tidak butuh pasar yang bagus. Yang dibutuhkan hanyalah pembeli yang ramai.
“Jangankan ramai, kondisi yang terjadi di pukul 5 sore saja sudah bak kuburan. Sepi, tidak seperti pasar yan kita lihat dulunya,” jelasnya.
Tidak sedikit juga yang akhirnya gulung tikar atau pulang ke kampung halaman balik menjadi petani atau mencari usaha lain.
“Kami dari UMKM Mandiri ada sekitar 400 an pedagang. Semuanya terdampak. Kita mendesak pak Wali untuk mau mencarikan solusi untuk ini,” ujarnya.
Banyak juga yang menilai Wali Kota tidak punya konsep dalam penataan PKL. Kota Padang tidak punha Perwako, di titik lokasi manasaja yang boleh dan manasaja yang tidak boleh. Jam berapa boleh dan jam berapa yang tidak boleh.
Menanggapi tudingan tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Kota Padang, Drs. Syahendri Barkah, menegaskan bahwa kebijakan pelarangan berjualan di jalan merupakan bentuk penegakan aturan.
“Kita kembali ke aturan saja. Tidak ada yang boleh berjualan di jalan karena itu mengganggu lalu lintas,” tegas Syahendri.
Ia juga menilai sepinya aktivitas perdagangan di Fase VII disebabkan lesunya daya beli masyarakat akibat kondisi ekonomi yang sedang menurun.
“Kita sudah berupaya meramaikan lokasi itu dengan berbagai kegiatan seperti senam pagi dan lomba mewarnai. Sekarang tinggal bagaimana pedagangnya bisa kreatif menarik pembeli,” katanya.
Sebagai langkah lanjutan, Pemko Padang juga menggandeng perusahaan aplikator daring untuk membantu pemasaran produk-produk UMKM di Pasarraya Vase VII.
“Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan kerja sama dengan aplikator daring agar produk pedagang bisa dijual secara online. Bagi yang berminat, silakan bergabung. Tapi kami tidak bisa memaksa,” tuturnya.
Kisah pedagang di Permindo dan Air Mancur kini menjadi potret dilema klasik: antara penertiban kota dan nasib ekonomi rakyat kecil.
Sementara Pemko Padang berupaya menata wajah kota dan menyesuaikan dengan aturan, para pedagang masih menunggu solusi nyata agar mereka bisa tetap bertahan bukan sekadar dipindahkan tanpa harapan. (h/yes)














