“Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU PLN untuk co-firing atau ekuivalen sekitar 2.700 MW. Co-firing akan terus dilakukan PLN sampai paling tidak 52 titik PLTU bisa menggunakan teknologi ini pada 2025,” ungkapnya.
Dalam pelaksanaan co-firing, lanjut Darmawan, PLN Grup telah memanfaatkan limbah antara lain serbuk kayu atau sawdust, woodchip, bonggol jagung dan solid recovered fuel (SRF) dari sampah.
Untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa, PLN telah mendapatkan kepastian pasokan dari sinergi BUMN, pemerintah daerah, swasta hingga masyarakat.
“Saat ini, PLN telah mendapatkan dukungan kebutuhan biomassa dari 14 institusi maupun perusahaan di wilayah yang terdapat operasi pembangkitan,” tuturnya.
Tak hanya itu, PLN juga mengajak masyarakat terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa bahkan ada pula yang mengelola sampah rumah tangga di wilayahnya untuk dijadikan pelet sebagai bahan baku sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi setempat.
Senada dengan hal tersebut, PLN bersama Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN akan menggelar seminar bioenergi bertema “Peningkatan Bauran EBT 23% melalui Keberlanjutan Pasokan Bahan Bakar Co-Firing dan Pembangkit Bioenergi” pada Hari Kamis (30/6).