Fenomena baru yang mencuat sejak 2016, katanya, adalah jual beli jabatan. Setelah memenangkan pilkada, kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memiliki kewenangan mengangkat, memutasi, dan memberhentikan ASN di wilayahnya. Di sinilah ruang transaksional terbuka lebar.
“Pasarnya sudah jelas: kepala dinas pendidikan sekian miliar, dinas PU sekian miliar, kesehatan sekian miliar harganya. Kepala daerah beralasan, ‘saya maju keluar ongkos mahal, masa kamu tidak bayar’. Ini nalar yang rusak, tapi sudah menjadi praktik lazim di banyak daerah,” katanya.
Dampaknya fatal. ASN yang berintegritas, menolak kompromi dan tetap berpegang pada meritokrasi, justru terpinggirkan. Birokrasi daerah kehilangan profesionalisme, karena jabatan bukan lagi hasil prestasi, melainkan transaksi.
DPRD Melemah, Pengawasan Lumpuh
Dalam teori tata kelola pemerintahan lokal (local governance), lembaga pengawas utama kepala daerah adalah DPRD. Namun dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini nyaris tidak berjalan. Banyak DPRD justru berkoalisi secara tidak sehat dengan kepala daerah demi kepentingan bersama.
“Dewan kita banyak yang tidak fungsional. Alih-alih mengawasi, malah kongkalikong dengan eksekutif. Akibatnya, sistem pengawasan yang mestinya berlapis menjadi lumpuh,” katanya.
Selain itu, pengawasan dari masyarakat, pers, dan lembaga swadaya masyarakat juga belum cukup kuat. Munculnya whistleblower atau “peniup peluit” dari kalangan internal birokrasi memang memberi secercah harapan, namun masih bersifat sporadis dan sering dilatarbelakangi faktor personal seperti mutasi tidak adil atau rasa kecewa.














