Prof Djo mengatakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sejatinya tetap memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui Inspektorat Jenderal (Irjen), Kemendagri dapat turun langsung melakukan klarifikasi, perbaikan kebijakan, bahkan menjatuhkan sanksi administratif.
Namun, ia mengakui, keterbatasan daya jangkau dan jumlah daerah otonom yang terus bertambah membuat pengawasan tidak mudah. Dari sekitar 300 daerah di awal reformasi, kini sudah lebih dari 500 daerah otonom di seluruh Indonesia. “Jumlahnya terus bertambah akibat pemekaran. Sementara kapasitas pengawasan belum berbanding lurus. Karena itu, Kemendagri sering kewalahan,” ujarnya.
Untuk menutup celah korupsi yang berulang, Prof. Djo menawarkan gagasan redesain otonomi daerah. Pemerintah pusat perlu meninjau kembali pendelegasian kewenangan kepada daerah, terutama pada sektor yang rawan penyimpangan seperti pengadaan barang dan jasa atau pembangunan infrastruktur.
“Bagi daerah yang sering terlibat kasus korupsi, sebagian kewenangan bisa ditarik kembali ke pusat. Misalnya, pengadaan proyek-proyek besar dikelola langsung oleh pemerintah pusat sampai daerah itu dianggap bersih,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan politik dan moralitas demokrasi bagi pemilih, agar budaya transaksional dalam pilkada perlahan dapat dihapus. “Selama pemilih masih minta uang dan sembako, demokrasi kita akan tetap dangkal. Pilkada mahal akan terus terjadi, dan kepala daerah akan terus mencari jalan untuk mengembalikan modalnya. Di situlah korupsi menemukan ruang hidupnya,” tuturnya. (*)














