Catatan Hasril Chaniago
Hari Jumat, 16 September 2002, sehabis shalat Magrib di Masjid Suria Kuala Lumpur City Center (KLCC), saya membuka HP untuk mengecek beberapa pesan WhatsApp (WA). Ketika saya buka Group WA Kongres Kebudayaan 2022, beberapa postingan mengabarkan tentang Prof. Dr. Azyurmardi Azra, Ketua Dewan Pers Indonesia dan bekas Rektor UIN Jakarta dua periode, mengalami sesak nafas di atas pesawat dalam penerbangan dari Jakarta – Kuala Lumpur, dan saat itu sedang dilarikan ke rumah sakit. Saya segera mengirim berita bahwa sedang berada di Kuala Lumpur, dan minta diinformasikan di rumah sakit mana cendekiawan kelahiran Lubuk Alung tahun 1955 itu dirawat.
Pesan saya segera dibalas Buya Shofwan Karim, Pof. Musliar Kasim, Sdr. Khairul Jasmi dan Uda Basril Djabar, meminta saya mencek keadaan terbaru Prof. Edi (demikian panggilan akrab Azyumardi Azra). Tak lama kemudian, Buya Dr. H. Anwar Abbas (Ketua PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum MUI Pusat) menjapri saya, mengabarkan bahwa Prof. Edi dibawa ke Rumah Sakit Serdang (Serdang Hospital) dekat Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Selangor. Saya langsung membatalkan beberapa janji bertemu malam itu, dan minta tolong Sdr. Irwan Arifin, seorang pengusaha muda di KL yang sudah saya anggap kemenakan sendiri, untuk mengarahkan mobil ke Serdang Hospital. Jaraknya sekitar 35 km dari KLCC.
Dalam keadaan normal, dari KLCC ke Serdang Hospital di Selangor bisa dicapai sekitar 30-40 menit. Tapi kebetulan Malaysia sedang libur panjang selama Jumat, Sabtu, dan Minggu, berhubung Hari Malaysia 16 September 2022. Banyak orang dari luar kota datang ke KL, sehingga jalanan amat padat. Walhasil, setelah lebih 1 jam baru kami bisa mendekati akses ke jalan tol arah KLIA. Singkat cerita, setelah dua jam lebih baru kami sampai di Sedang Hospital: sekitar pukul 21.00 waktu Malaysia atau 20. WIB. Lalu sekitar 15 menit lagi berputar-putar mencari tempat parkir.
Pertama melapor ke Bagian Informasi Tamu Serdang Hospital, mulanya dijawab ini bukan jam kunjungan. Ketika saya sampaikan bahwa pasien ini pejabat negara di Indonesia, dan belum ada keluarganya yang mendampingi, penerima tamu mengecek informasi. Lalu kami diarahkan naik ke lantai 4 ruang Cardio Care Unit (CCU), setelah melalui beberapa pemeriksaan pula. Ketika kami sampai di ruang CCU, petugas di sana semula kaget, kok kami bisa sampai ke ruang tersebut. setelah saya beri penjelasan seperti tadi, akhirnya diinformasikan, bahwa pasien masih dalam proses pindah dari Uni Kecemasan (IGD) ke ruang CCU –selain pasien jantung juga untuk penderita gawat darurat kasus Covid. Waktu itulah kami diberi tahu bahwa Prof. Edi positif Covid, disertai gangguan jantung dan gula darah tinggi.
Meskipun terkejut, kedatangan saya dan Irwan, serta teman kami Dioni Anwar, cukup melegakan juga bagi petugas rumah sakit. Sebab, mereka belum bisa mengontak keluarga, dan juga gagal ketika beberapa kali menelepon nomor Kedutaan (KBRI) KL, mungkin karena hari itu semua kantor di Malaysia libur. Mereka minta nomor Malaysia yang bisa dihubungi. Untunglah saya bersama Irwan yang sudah PR Malaysia, dan didaftarkan oleh Serdang Hospital sebagai kontak waris/keluarga.
Setelah itu kami diminta menunggu di luar. Kalau pasien sudah datang, nanti kami akan dipanggil lagi. Pas ketika kami keluar dari ruang CCU, datanglah tiga petugas berpakaian hazmat membawa Prof. Edi yang sepertinya sudah dipasangi ventilator dan sejumlah peralatan dan kabel melilit tubuh beliau. Saya sempat mengambil dua buah foto sebelum pasien dimasukkan ke dalam CCU. Itulah terakhir kali saya melihat wajah Prof. Edi dari dekat, jarak 2 meter, tapi beliau sudah dalam keadaan tidak sadar.