HARIANHALUAN.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat berdasarkan laporan yang masuk kegiatan usaha Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Pasaman Barat, tertinggi di Provinsi Sumatra Barat (Sumbar).
“Ada empat kabupaten di Sumbar yang saat ini marak aktivitas PETI, yakni Pasaman Barat, Pasaman, Sijunjung, dan Solok Selatan,” ucap Direktur Walhi Sumbar, Wengki Purwanto.
Menurut Wengki, tingginya aktivitas PETI atau penambangan emas ilegal di Pasaman Barat, karena dilihat dari penggunaan alat berat yang cukup banyak di daerah itu, jika dibandingkan tiga daerah lain yang saat ini juga marak aktivitas tersebut.
“Tim kita masih di lapangan. Nanti data dari tim ini akan kita analisa dulu. Aktivitas PETI yang tertinggi saat ini berdasarkan data yang masuk, yakni Kabupaten Pasaman Barat,” ucapnya.
Ia menerangkan, daya rusak dari penggunaan alat berat pada aktivitas-aktivitas PETI sangat cepat terhadap lokasi penambangan, yang hanya hitungan jam sudah memakan banyak luas wilayah yang rusak.
Untuk lokasi PETI yang tercatat pada Walhi di Kabupaten Pasaman Barat berada di Kecamatan Gunung Tuleh, Kecamatan Pasaman, dan Kecamatan Ranah Batahan.
“Kalau untuk Ranah Batahan datanya sudah lama masuk, yang baru masuk beberapa hari ini aktivitas PETI yang lagi marak di aliran Sungai Batang Pasaman. Selain itu, beberapa titik di Kabupaten Pasaman,” ujarnya.
Wengki menjelaskan, data yang masuk tersebut selain bersumber dari tim Walhi sendiri, juga langsung dari masyarakat. Data atau informasi tersebut juga disondingkan dengan penegak hukum.
“Setiap data yang masuk setelah dianalisa, kita sondingkan dan kordinasikan dengan Dirkrimsus Polda Sumbar. Hal itu untuk melihat data mana yang tepat,” ucapnya.
Sejauh ini ia menilai, para pelaku tambang emas ilegal melakukan beberapa pola atau modus dengan memanfaatkan ekonomi masyarakat yang lagi sulit, seolah PETI bisa mengatasi persoalan ekonomi.
Namun faktanya, hal itu hanya akal-akalan para pelaku untuk menjadikan tameng, sehingga pemerintah tidak berani bertindak secara langsung. Pelaku pun bisa lebih leluasa beraktivitas tanpa tersentuh hukum untuk mencari kekayaan.
“Ini menjadi alat negosiasi ditingkat masyarakat yang kita temukan dan ini menjadi tameng bagi pelaku utama, agar bisa melakukan aktivitas bisnis tambang emas ilegal ini,” ujarnya.
Walhi sendiri juga menemukan kesepakatan tertulis seperti di Kabupaten Pasaman dalam menjalankan aktivitas dengan dasar kesulitan ekonomi masyarakat. Kesepakatan tertulis itu dijadikan sebagai dasar untuk mencari alat berat.
Menurutnya, hal itu hampir sama dilakukan dibeberapa daerah lain. Modus ditingkat lapak atau bawah hanya sebagai tameng oleh pelaku utama, namun sesungguhnya hanya akal-akalan belaka.
“Kita mendapatkan dokumen itu di lapangan, mereka juga menawarkan fee atau uang untuk nagari, pemuda dan persentase hasil tambang bagi pemilik lahan,” ucapnya.
Walhi sendiri sejauh ini juga menerima laporan tentang adanya dugaan keterlibatan oknum penegak hukum yang bermain dibelakang layar. Namun hal itu masih diverifikasi ketingkat kevalidan, artinya belum bisa membuktikan secara pasti.
Selain itu, diduga keterlibatan penegak hukum terkait penerimaan biaya keamanan per alat berat yang direntang pada harga sekitar Rp25juta. Biaya itu disebut dengan bahasa uang payung, namun bahasa tersebut tergantung daerahnya.
Ada juga bahasa lain dengan menjual nama uang SDM untuk penegak hukum. Sedangkan tingkat kevalidan hal itu tentu dibutuhkan sumber dengan didukung bukti yang cukup kuat.
Kemudian yang menjadi hal aneh lainnya, kata Wengki, lokasi tambang-tambang emas ilegal itu tidak jauh dari pemukiman atau keramaian, justru lokasinya sangat dekat dari pemukiman.
Artinya, secara umum mudah bagi orang lain mengetahui, termasuk penegak hukum dan pemerintah setempat itu sendiri. Kegiatan tersebut seperti tidak kelihatan, padahal didekat keramaian.
“Ini kan jadi tanda tanya. Penilaian kita, jelas ada praktik pembiaran dari pemerintah dan penegak hukum. Sebab, pemerintah itu sendiri memiliki data soal penambangan yang berizin,” ujarnya. (*)