HARIANHALUAN.ID — Pemerintah pusat telah menginstruksikan kepada pemerintah daerah untuk “menyisihkan” dua persen anggaran Dana Transfer Umum (DTU) triwulan IV untuk bantuan sosial (bansos), bagi masyarakat yang terdampak kenaikan harga BBM.
Di Sumbar, diperkirakan ada sekitar 18.300 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang bakal kebagian bansos DTU ini.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar, Delliyarti mengatakan, saat ini Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar) masih terus mematangkan skema penyaluran DTU, yang ditargetkan akan disalurkan sekitar akhir Oktober atau awal November 2022.
Hal ini dilakukan agar bantuan yang disalurkan nantinya tidak saling tumpang tindih. Pasalnya, bansos DTU tidak hanya dialokasikan oleh pemerintah provinsi, melainkan juga pemerintah provinsi. Sementara di tingkat pusat penyaluran bansos lainnya, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga tengah berjalan.
Kendati demikian, Delliyarti memastikan bahwa penerima bansos DTU adalah mereka yang telah terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos), namun belum pernah menerima bansos lain dalam bentuk lain, baik itu yang dianggarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota.
Dengan kata lain, sepanjang terdaftar dalam DTKS, siapapun, entah itu tukang ojek, nelayan, petani, ataupun guru honorer, berhak menerima bansos DTU.
“Soal data penerima ini yang sekarang tengah didudukkan, supaya nanti datanya saling tumpang tindih. Jangan sampai nanti satu keluarga dapat tiga bansos berbeda. Sementara ada keluarga lain yang tidak dapat sama sekali. Yang jelas, prioritasnya adalah masyarakat yang belum menerima bansos dalam bentuk apapun,” katanya.
Sementara Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Sumbar, Arry Yuswandi mengungkapkan bahwa penerima bansos DTU akan mendapatkan bantuan senilai Rp150.000 per bulan. Di mana pada tahap awal ini, bansos DTU akan disalurkan langsung untuk empat bulan atau sebesar Rp600.000.
“Skemanya saat ini tengah kami rancang. Agak butuh waktu, karena memang kami ingin hati-hati soal pendataan ini. Belajar dari yang sudah-sudah, banyak data yang saling overlap, sehingga terjadi kekacauan saat penyalurannya,” kata Arry.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, alokasi pemberian bansos untuk masyarakat itu merupakan belanja wajib pemda sebagai upaya mengatasi dampak inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Aturan alokasi dua persen oleh masing-masing pemda yang diambilkan dari DTU untuk pemberian bansos sudah masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI Nomor: 134/PMK.07/2022 tentang belanja wajib dalam rangka penanganan dampak inflasi Tahun 2022.
Pada beleid itu disebutkan, pemda wajib menggunakan belanja perlindungan sosial (perlinsos) itu untuk pemberian bansos termasuk kepada pengemudi ojek, pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), nelayan, penciptaan lapangan kerja, serta pemberian subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
Sri Mulyani mengatakan, kewajiban pemda mengalokasikan dua persen dari DTU untuk bansos kepada masyarakat sebagai upaya dari pemerintah dalam meringankan beban masyarakat atas kenaikan harga BBM.
Pihaknya juga menjelaskan, realisasi anggaran belanja wajib perlinsos sebesar Rp3,4 triliun itu, dibelanjakan untuk bantuan sosial sebesar Rp1,7 triliun atau 49,4 persen, penciptaan lapangan kerja Rp600 miliar atau 18,5 persen, subsidi sektor transportasi Rp300 miliar atau 9,5 persen dan perlinsos lainnya Rp800 miliar atau 22,5 persen.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menuturkan, realisasi itu lebih tinggi dari perkiraan awal pemerintah pusat bahwa alokasi dua persen dari anggaran DTU hanya mencapai Rp2,17 triliun. Menurutnya, hal ini menunjukkan pemda cukup responsif terhadap kebijakan untuk meringankan beban masyarakat.
“Ini berarti daerah-daerah sudah cukup baik dan responsif dalam berupaya meringankan beban masyarakat melalui langkah perlindungan sosial dan subsidi transportasi,” ujar Sri Mulyani. (*)