Angka Kemiskinan di Sumbar 128 Ribu Jiwa, Fraksi Gerindra Nilai DPRD dan Pemprov Telah Gagal

Kemiskinan

Ilustrasi

PADANG, HALUAN – Tahun 2021 jumlah penduduk miskin ekstrem di Sumbar mencapai 85.292 jiwa, Tahun 2022 angka ini naik menjadi 128 ribu jiwa. Dengan kata lain, selama satu tahun jumlah penduduk miskin ekstrem Sumbar bertambah lebih kurang 40 ribu jiwa.

Banyaknya penduduk Sumbar yang masuk dalam katagori miskin ekstrem dinilai oleh Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sumbar, Hidayat merupakan bentuk kegagalan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

“Dengan masih adanya 128 ribu jiwa masyarakat Sumbar berada dalam kondisi miskin ekstrem, atau akut, ini memalukan dan menghinakan pemerintahan daerah. Boleh dikatakan, DPRD dan Pemprov telah gagal sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah,” ujar Hidayat.

Disebut Hidayat, sesuai tugas dan fungsi yang dimiliki, yang namanya pemerintah baik itu pusat maupun pemerintah daerah berkewajiban menekan angka kemiskinan dan mensejahterahkan masyarakat.

Namun, kata dia, melihat pada jumlah penduduk miskin Sumbar yang terus bertambah, Pemprov terbukti telah gagal dalam keberpihakan menekan laju angka kemiskinan ekstrem di tengah masyarakat.

Hidayat dengan tegas mengatakan, ini juga termasuk sebagai bagian dari kegagalan DPRD, karena DPRD adalah bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah. “Saya melihat Pemprov maupun DPRD belum fokus dengan program menstimulus ekonomi masyarakat,” ucapnya.

Hidayat menambahkan, belum berpihaknya program pemerintah daerah terhadap upaya menstimulus ekonomi masyarakat bisa dibuktikan dengan tak kunjung disetujuinya oleh Gubernur program Simamak yang telah diusulkan sejak tiga tahun belakangan.

Dimana program Simamak ini bertujuan untuk memberikan pinjaman dengan bunga rendah untuk pelaku usaha super mikro yang ada di tengah masyarakat.

“Itu salah satu ketidak berpihakan Pemprov terhadap pelaku usaha kecil. Saat ini ada sekitar 470 ribu pelaku usaha super mikro di Sumbar, namun umumnya mereka masih mendapatkan modal usaha dari sumber pembiayaan dengan bunga yang tinggi, yaitu dari rentenir,” kata Hidayat.

Setelah dihitung secara akuntasi, jelas Hidayat, bunga yang dibayarkan pelaku usaha super mikro saat meminjam kepada rentenir, sesungguhnya merupakan keuntungan murni yang mereka dapat, yang bisa digunakan untuk pengembangan usaha, atau bisa disisihkan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Kemudian dari sisi infrastruktur, Hidayat menilai, gubernur abai untuk bisa meningkatkan infrastruktur publik di Sumbar yang akan mendukung untuk percepatan ekonomi, dan berujung untuk menekan angka kemiskinan.

Hidayat menuturkan, hal ini  bisa diketahui dari  persoalan Jalan Sitinjau Lauik yang tak kunjung ada solusi, dan tidak kunjung tuntasnya pembangunan jalan tol Padang-Pekanbaru.

“Betapa mahalnya biaya distribusi barang dan jasa ke Sumbar, ataupun ke Kota Padang. Contohnya, jalan Sitinjau Lauik masih saja macet, tidak segar lagi sayur mayur sampai di Kota Padang. Begitupun dari Padang ke Payakumbuh, Padang-Pekanbaru, dalam pendistribusian barang dan jasa membutuhkan biaya yang mahal, karena tol yang tak kunjung tuntas,” kata Hidayat yang juga anggota Komisi V DPRD Sumbar tersebut.

Dewan dari daerah pemilihan (Dapil) Kota Padang ini menambahkan, tingginya angka kemiskinan ekstrem yang terjadi di Sumbar ini, harus jadi bahan evaluasi oleh DPRD bersama Gubernur, agar ke depan dalam mengambil kebijakan DPRD dan Gubernur memprioritaskan program yang bisa menekan laju kemiskinan di Sumbar.

“Selain itu, ini semua tak terlepas juga dari Silpa kita yang sangat tinggi, seperti yang terjadi tahun lalu. Tahun lalu tersebut Silpa kita mencapai lebih kurang Rp450 miliar. Ketika APBD tidak terkola dengan baik, Silpa mencapai ratusan miliar, peruntukan belanja modal terus berkurang dan tak sesuai dengan RPJMD, ya inilah hasilnya, Pemprov gagal melakukan intervensi untuk menekan laju angka kemiskinan ini,” tuturnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Sumbar, Muzli M Nur mengatakan, untuk menekan tingginya angka kemiskinan ekstrem, pemerintah daerah harus melakukan intervensi atas ekonomi masyarakat. Intervensi yang ia maksud di sini adalah, dalam artian, bagaimana pemerintah bisa hadir membantu mengatasi tingginya harga kebutuhan pokok yang terjadi di masyarakat. Kemudian serapan APBD harus dipercepat. Muzli menyebut, menjelang akhir tahun, Pemprov harus cepat merealisasikan APBD perubahan, supaya perputaran uang di Sumbar tidak melambat.

“Serapan APBD ini harus disegerakan. Harus tinggi serapannya, bukan silpanya yang tinggi. Ketika APBD cepat terserap, uang akan berputar, akan tercipta lapangan pekerjaan, sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan,” ujar Muzli.

Politisi PAN ini menambahkan, jika jelang akhir tahun ini OPD Pemprov masih lamban dalam merealisasikan anggaran, ancaman tingginya Silpa akan kembali terulang, seperti yang juga sudah terjadi pada tahun lalu.

“Kalau serapan APBD masih terlalu lamban, jika tahun lalu Silpa kita mencapai Rp450 miliar, ke depan mau berapa lagi?. Jika hal tersebut masih terulang, sudah saatnya Gubernur mengevaluasi kinerja OPD,  kalau pejabat-pejabat OPD yang ada itu memang tidak mampu, atau memang tidak mau tau, Gubernur harus melakukan reshuffle. Ini untuk menghadapi Tahun 2023, apalagi tahun tersebut adalah tahun politik,” ucapnya. (*) 

Exit mobile version