Selanjutnya tidak adanya transparansi di lapangan mengenai persoalan kartu tani. Pemerintah harus menyederhanakan ada kartu tani, di kartu itu harus tertera jumlahan petani itu dapat menerima pupuk subsidi.
Kemudian, disampaikannya, persoalan lain adalah tidak semua daerah memiliki sistem digitalisasi yang baik. Artinya, banyak kios yang mengeluhkan hal tersebut. Ombudsman dalam hal ini meminta data secara jelas terkait ketersediaan jumlah atau persentase daerah yang sudah baik secara digital.
“Lalu sinyal, tidak semua kios memiliki sinyal yang bagus sementara, banyak sekali kartu tani yang tidak aktif. Dalam waktu dekat, Ombudsman akan meminta jangan menggunakan kartu tani sebagai satu-satunya jalan untuk pupuk,” katanya.
Hal ini disebabkan, karena masih banyak petani yang tidak masuk ke dalam data. Kemudian validitas data yang sudah tercantum dalam sistem tidak dapat dipercaya karena ada yang jumlah data-data yang salah atau tidak valid, maka hal ini akan mempengaruhi jumlah alokasi.
“Banyak sekali data yang dicek hanya memiliki 0,2 hektare, tapi tercantum 0,4 hektare. Hal ini tentu akan mempengaruhi jumlah pupuk subsidi yang diterima. Omdusman berharap tidak ada masalah kedepannya tentang validitas data ini,” katanya.
Permasalahan data tersebut, katanya, tidak lagi bisa dilakukan oleh penyuluh dan harus dilakukan oleh orang profesional. Hal ini karena penyuluh hanya berkomunikasi dengan ketua petani saja, sementara tidak semua anggota kelompok tani yang terdata.
“Kita ingin menguji bagaimana pendataan yang valid dan berharap bisa diaplikasikan Tahun 2024. Bagi petani yang terdaftar di sistem harus mendapatkan pupuk subsidi, yaitu juga terkait jumlah pupuk yang didapatkan oleh petani mendapatkan pupuk yang sama,” ujarnya.