Tak hanya itu, Nawawi menjelaskan kewenangan KPK untuk melakukan penindakan juga terbatas. Berdasarkan UU yang berlaku, KPK hanya bisa menindak pada dua subyek hukum saja yaitu Aparat Penegak Hukum (APH) dan Penyelenggara Negara (PN).
Sementara pihak lain di luar itu, dapat menjadi subyek hukum KPK jika bersama-sama terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Oleh karenanya, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dilakukan oleh KPK saja.
“Semua upaya pencegahan dilakukan dengan peran serta masyarakat. Artinya KPK tidak mungkin jalan sendiri memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara keroyokan. Kita harus bergandengan tangan untuk bersinergi,” kata Nawawi.
Menurutnya, kolaborasi yang saling mendukung antara KPK, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, pemerintah daerah (pemda), pelaku usaha, serta seluruh elemen masyarakat akan menciptakan pemberantasan korupsi yang berdampak nyata bagi negara.
“Walau KPK saat ini hanya memiliki 1.500 pegawai, tetapi KPK memiliki mata di seluruh pelosok negeri. Hari ini rapat koordinasi, KPK menjalankan tugas koordinasi, bukan sekedar seremonial, tetapi memang ini tugas pokok KPK. Mengadakan rapat dengar pendapat dengan instansi manapun untuk membahas upaya-upaya pemberantasan korupsi,” bebernya.
Lebih lanjut, Nawawi menjelaskan, dalam upaya pencegahan korupsi, Direktorat Monitoring KPK juga telah melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah. KPK bersyukur mayoritas kajian itu dijalankan oleh pemerintah.
“Selama ini, 98 persen hasil kajian dan rekomendasi KPK dilaksanakan pemerintah pusat dengan baik. Hal ini demi mencegah terjadinya korupsi,” terang Nawawi.
Kajian itu, sambung Nawawi, di antaranya terkait program PEN. Dalam kajian tersebut, KPK menemukan adanya ketidakjelasan prioritas. Di mana, Pemda tidak menyiapkan dokumen perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber pinjaman.
“Kedua, belum ada pengaturan terhadap pemanfaatan Sisa Hasil Tender (SHT) sehingga dimungkinkan pemanfaatan SHT diluar peruntukkan dalam dokumen Perjanjian Pemberian Pinjaman. Ketiga, lemahnya pengawasan. Inspektorat lemah dalam memitigasi risiko korupsi,” imbuhnya. (*)