Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur, Bupati dan Walikota oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kepala daerah terjadi beberapa waktu lalu, namun belum membuat jera. Ini terbukti masih banyak laporan dugaan korupsi di daerah.
HALUANNEWS, JAKARTA – Mayoritas OTT yang dilakukan KPK di daerah terjadi kepada kepala daerah Bupati/walikota. Hal tersebut diakui Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango.
Dia bercerita sempat merasa heran penyelenggara negara yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu lalu, mayoritas adalah pejabat daerah. Dia lantas mengonfirmasi hal tersebut kepada Deputi Penindakan KPK, Karyoto.
Berdasarkan informasi dari Deputi Penindakan, kata Nawawi, ternyata mayoritas laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke KPK memang berasal dari daerah. KPK mengantongi banyak laporan dugaan korupsi yang didominasi proyek strategis di daerah.
Pengaduan masyarakat itu kemudian ditindaklanjuti dan diselidiki KPK hingga berujung pada OTT. Demikian dibeberkan Nawawi saat menghadiri Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di wilayah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Rabu 23 Maret 2022.
“Saya sempat tanya Deputi Penindakan KPK, kenapa seolah KPK hanya nangkapi bupati atau wali kota saja? Ternyata karena laporan pengaduan masyarakat begitu tingginya akhir-akhir ini memang banyak terkait itu. Utamanya dalam kaitan pengadaan proyek-proyek strategis di suatu daerah,” ujar Nawawi melalui keterangan resminya, dikutip dari Sindonews.com, Kamis (24/3/2022).
Tak hanya itu, Nawawi menjelaskan kewenangan KPK untuk melakukan penindakan juga terbatas. Berdasarkan UU yang berlaku, KPK hanya bisa menindak pada dua subyek hukum saja yaitu Aparat Penegak Hukum (APH) dan Penyelenggara Negara (PN).
Sementara pihak lain di luar itu, dapat menjadi subyek hukum KPK jika bersama-sama terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Oleh karenanya, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dilakukan oleh KPK saja.
“Semua upaya pencegahan dilakukan dengan peran serta masyarakat. Artinya KPK tidak mungkin jalan sendiri memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi harus dilakukan secara keroyokan. Kita harus bergandengan tangan untuk bersinergi,” kata Nawawi.
Menurutnya, kolaborasi yang saling mendukung antara KPK, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, pemerintah daerah (pemda), pelaku usaha, serta seluruh elemen masyarakat akan menciptakan pemberantasan korupsi yang berdampak nyata bagi negara.
“Walau KPK saat ini hanya memiliki 1.500 pegawai, tetapi KPK memiliki mata di seluruh pelosok negeri. Hari ini rapat koordinasi, KPK menjalankan tugas koordinasi, bukan sekedar seremonial, tetapi memang ini tugas pokok KPK. Mengadakan rapat dengar pendapat dengan instansi manapun untuk membahas upaya-upaya pemberantasan korupsi,” bebernya.
Lebih lanjut, Nawawi menjelaskan, dalam upaya pencegahan korupsi, Direktorat Monitoring KPK juga telah melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi terhadap berbagai kebijakan pemerintah. KPK bersyukur mayoritas kajian itu dijalankan oleh pemerintah.
“Selama ini, 98 persen hasil kajian dan rekomendasi KPK dilaksanakan pemerintah pusat dengan baik. Hal ini demi mencegah terjadinya korupsi,” terang Nawawi.
Kajian itu, sambung Nawawi, di antaranya terkait program PEN. Dalam kajian tersebut, KPK menemukan adanya ketidakjelasan prioritas. Di mana, Pemda tidak menyiapkan dokumen perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber pinjaman.
“Kedua, belum ada pengaturan terhadap pemanfaatan Sisa Hasil Tender (SHT) sehingga dimungkinkan pemanfaatan SHT diluar peruntukkan dalam dokumen Perjanjian Pemberian Pinjaman. Ketiga, lemahnya pengawasan. Inspektorat lemah dalam memitigasi risiko korupsi,” imbuhnya. (*)