Seorang lelaki bertubuh tegap, turun dari sepeda motor. Bulir keringat, terlihat jelas di keningnya. “Baa kaba Da?” ujarnya menyapa Haluan yang menunggu di kedai kecil tepi sungai, lima meteran dari Tempat (Taman?) Pemakaman Umum (TPU), Tunggul Hitam.
Edi Mayik (Mayat-red), begitu panggilan top pria 54 tahun asal Batang Kapeh, Pesisir Selatan (Pessel), yang turun dari sepeda motor Nmax hitam itu. Gelar ‘kehormatan’ tersebut sudah disandangnya sejak 24 tahun lalu, tiga tahun setelah dia menjadi juru makam di TPU Tunggul Hitam.
“Saya mulai kerja di Tunggul Hitam sejak 1995. Tiga tahun setelah itu, orang-orang memangil saya Edi Mayik,” katanya mulai bercerita asal muasal gelarnya.
Tidak marah atau menolak dipanggil Edi Mayik? “Ndak, ndak. Saya terima saja. Sehari-hari saya urusannya kan memang mengurus mayat. Menggali kubur, menguburkan jenazah atau memindahkan mayat dari satu lokasi ke lokasi lain,” ujar pria bernama lengkap Yardianto ini.
Edi Mayik, tidak hanya populer dan dikenal di lingkungan TPU Tunggul Hitam. Tapi juga di TPU-TPU yang ada di Kota Padang, seperti di Air Dingin dan Bungus. Pun di lingkup Pemko Padang, nama Edi Mayik familiar di lingkungan UPTD dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pemakaman sampai ke wali kota.
“Mulai Pak Zuiyen Rais, Pak Fauzi Bahar, Buya Mahyeldi sampai Pak Hendri Septa, kenal atau setidaknya pernah bertemu dengan Edi Mayik. Saya diangkat jadi pegawai tetap di zaman Pak Zuiyen,” katanya.