Pada zaman Mahyeldi jadi wali kota, Edi Mayik pernah ditawari pindah tugas ke dinas perhubungan. Tapi, dengan halus, dia mengelak. “Saya ndak biasa dan ndak pandai pakai seragam itu, Pak. Dan lagi, jika saya pindah, nanti warga saya yang lebih 25 ribu di TPU itu, protes dan demo. Kan kacau, haha…,” ujar Edi, bercanda, menyatakan 25 ribu lebih jenazah yang berkubur di TPU sebagai “warga-nya”.
Melakoni hidup sebagai juru makam, Edi mengaku enjoi dan tidak pernah punya rencana pindah profesi. “Saya jalani hidupi apa adanya. Yang penting saya harus berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada ‘warga’ saya di Tunggul Hitam. Warga saya itu, tidak pernah ‘macam-macam’. Baik-baik semua,” katanya sambil menunjuk hamparan pusara di luas hampir empat hektare itu.
Bergelut dengan lubang kuburan dan dari satu jenazah ke jenazah berikutnya, menumbuhkan kesadaran pada dirinya. Bahwa, apalah yang perlu diburu betul di dunia ini. Muda-tua meninggal. Kaya-miskin, mati. Berpangkat atau rakyat jelata, akhirnya ujungnya ke kuburan juga. Perbuatan baik. Kebaikan demi kebaikan, sejatinya inilah yang perlu dikumpulkan untuk menemani kesendirian di dalam kubur.
Cerita Mistik
Selama 27 tahun mengurus kuburan dan mayat, dia mengaku tidak pernah diusik oleh hal-hal yang berbau mistik. Mimpi tentang jenazah atau ditakut-takuti makhluk aneh, misalnya. Padahal, kerjanya sebagai juru makam, tidak hanya berlangsung siang hari.
“Saya siap 24 jam mengurus mayat. Siang, malam atau menjelang Subuh pun, saya pernah menggali kubur,” tuturnya. Di TPU Tunggul Hitam kini ada 7 orang juru makam yang tugasnya bergantian.
Penguburan malam sampai Subuh, itu terjadi karena ada orang yang mau memindahkan makam keluarganya dalam waktu cepat. Atau ada jenazah dari luar provinsi yang mau dikuburkan keluarganya di Tunggul Hitam. Meninggal siang, sampai di Padang sudah malam, karena permintaan keluarganya, ya harus malam itu juga dikuburkan.