HARIANHALUAN.ID – Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar akan menggalakkan imunisasi polio tambahan (Crash Program Imunisasi Polio) pada Februari 2023. Hal itu dikatakan Kabid P2P Dinkes Sumbar, Yun Efiantina yang ditemui Haluan, Senin (30/1/2023) di kantornya.
“Rencananya akan digalakkan mulai 20 Februari mendatang selama seminggu, ditambah lima hari sweeping anak-anak yang belum imunisasi usia 0-59 bulan,” ucapnya.
Kegiatan yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI, sebagai upaya pencegahan kasus polio di Sumatra Barat (Sumbar) ini menetapkan target di atas 90 persen. Ia menambahkan, vaksin yang diberikan ada dua OPV atau vaksin polio tetes dan IPV atau vaksin yang disuntikkan.
“Adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus polio di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, menjadikan Sumbar penting menyiapkan langkah strategis, agar kasus yang sama tidak terjadi di Sumbar. Karena Aceh cukup dekat dengan Sumbar,” tuturnya.
Diakuinya, sejak awal masa pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan angka partisipasi imunisasi terhadap anak. Pada 2019 capain vaksinasi MR itu 80,8 persen, kemudian 2020 hanya 58,8 persen, 2021 juga hanya 59,8 persen dan 2022 capaiannya 72,4 persen. Padahal untuk membentuk herd immunity (imunitas kelompok) diperlukan 90 persen dan 95 persen jika pada KLB. “Nampak sekali dampak pandeminya,” ucapnya.
Pengaruh imunisasi yang rendah juga sangat berpengaruh terhadap sejumlah penyakit termasuk campak, polio, rubella. Selain itu, Dinkes Sumbar juga sudah menggalakkan program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) dari Mei hingga November 2022. Namun capaiannya juga masih rendah, yakni 49,7 persen.
“Kita sudah juga upayakan melalui BIAN. Sebenarnya ini program rutin Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Kita perlu partisipasi dari masyarakat, dinas terkait seperti Dinas Pendidikan, PKK, bidan desa, tokoh agama, tokoh masyarakat termasuk media,” ujarnya.
Yun Efiantina menambahkan, banyaknya hoax dan pemahaman salah yang beredar juga turut mengurungkan niat orang tua membawa anak untuk mengikuti imunisasi.
“Masa pandemi, orang tua tidak mau membawa anaknya ke puskesmas. Juga berkembang isu setelah imunisasi anak jadi demam. Padahal kalau demam itu bagus, artinya ada respon dari tubuh. Kemudian hoax halal haram vaksin, padahal MUI sudah mengeluarkan fatwa dan sudah sepakat membolehkan. Dari kawan-kawan media perlu untuk meluruskan,” tuturnya.
Terkait kasus campak yang juga sedang ramai, dikatakannya merupakan rekapitulasi selama tahun 2022. “Sumbar menjadi kasus KLB terbanyak, karena akumulasi selama tahun 2022. Sejak Januari kasus meningkat sampai di puncak Juni 2022. Namun dari Juli hingga Desember 2022, kasus terus turun drastis hingga 0 kasus pada Desember,” ucapnya.
Ia merinci awalnya Januari ada enam kasus, Februari 27 kasus, Maret 58 kasus, April 91 kasus, Mei 102 kasus, Juni 296 kasus, Juli 188 kasus, Agustus 43 kasus, September 37 kasus, Oktober delapan kasus, November satu kasus dan Desember 0 kasus.
“Bukan KLB, tapi kasus positif. Jadi paling banyak kasus di Juni. Waktu itu sudah dibuat surat edaran untuk mengeluarkan instruksi gubernur terkait data itu di Juni. Dan turun drastis sejak itu,” ucapnya.
Kemudian untuk KLB di Sumbar, sambungnya, ada 25 frekuensi kejadian dengan kasus terbanyak di Padang. Yun Efiantina kondisi bisa disebut KLB, jika minimal ada dua kasus positif labor dan ada hubungan epidemiologis dari dua kasus itu.
Yun juga menanggapi terkait informasi Dinas Kesehatan akan dipanggil DPRD provinsi terkait kasus ini. “Kalau dipanggil ya tidak masalah, karena kadis punya data lengkap. Kita akan jelaskan, agar tidak simpang siur,” ucapnya. (*)