HARIANHALUAN.ID — Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar) menargetkan tingkat kemiskinan bisa berada pada kisaran angka 5,37 persen pada 2023 dan 5,27 persen pada 2024.
Target ini diyakini bakal tercapai, mengingat tingkat kemiskinan Sumbar per September 2022 sudah mencapai 6,04 persen, atau sudah melebihi target yang ditetapkan, yakni sebesar 6,48 persen.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar, Medi Iswandi mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan di Sumbar pada 2022 mengalami penurunan dibanding tahun 2021. Per September 2021 tingkat kemiskinan Sumbar berada pada angka 6,24 persen year on year (yoy), turun menjadi 6,04 persen (yoy).
“Kalau dibandingkan dengan Maret 2022, memang ada kenaikan. Dari 5,92 persen pada Maret 2022 menjadi 6,04 persen pada September. Tapi kita kan harus melihat perbandingannya secara year on year atau setahun penuh. Kalau secara year on year, tetap ada penurunan,” katanya saat ditemui Haluan di kantornya, beberapa waktu yang lalu.
Di samping itu, realisasi kemiskinan tahun 2022 juga melewati target yang ditetapkan, yakni sebesar 6,48 persen. Oleh karena itu, ia optimis capaian tingkat kemiskinan sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJDM) Tahun 2021-2026, yakni 37 persen pada 2023 dan 5,27 persen pada 2024 dapat tercapai.
Optimisme ini juga didukung tren pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan bergerak positif pada 2023. Di mana Bank Indonesia (BI) memprediksi ekonomi Sumbar tahun 2023 akan tumbuh 4,2-5,0 persen year on year (yoy).
Kendati demikian, ia mengarisbawahi bahwa upaya menekan angka kemiskinan bukan hanya tanggungjawab pemerintah provinsi semata. Sebaliknya, yang lebih banyak berperan justru pemerintah kabupaten/kota.
“Setiap pemerintahan tentu punya tanggungjawab dan kewenangannya masing-masing. Pusat punya kewenangannya sendiri, provinsi juga punya kewenangannya sendiri. Tapi yang lebih berperan itu tentu pemerintah kabupaten/kota, karena mereka yang punya masyarakat, mereka yang punya wilayah. Seperti Mentawai misalnya, pada 2022 tingkat kemiskinan itu masih diangka 13,97 persen, tertinggi se-Sumbar. Untuk kasus ini, tentu kami dari provinsi melakukan apa yang menjadi kewenangan kami, begitu juga dengan pemerintah pusat. Tinggal lagi bagaimana pemerintah Mentawai itu sendiri,” katanya.
Ia menyebut, tingkat kemiskinan Sumbar merupakan akumulasi dari tingkat kemiskinan di kabupaten/kota. Jika kemiskinan di tingkat kabupaten/kota turun, maka kemiskinan Sumbar pun dengan sendirinya akan ikut turun.
“Makanya, untuk mengentaskan kemiskinan itu tidak bisa sendiri-sendiri. Harus ada upaya bersama dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota,” tuturnya. (*)